Rumah tembok sangat sederhana yang saya kunjungi di kampung Halibaurenes di Kab. Belu, Prov. NTT hampir dirampungkan. Rumah sangat sederhana itu adalah salah satu jenis rumah rakyat di Prov. NTT. Rumah jenis ini dibangun dari sedikit subsidi pemerintah desa dan uang sendiri. Uang sendiri itu salah satunya berupa kiriman uang dari Kalimantan. Ya, sejak kecil, anak-anak di sekitar rumah saya di kampung Halibaurenes sudah buat rencana untuk merantau ke Kalimantan. Mereka diajak oleh salah satu keluarga yang lebih dahulu kerja di Kalimantan. Orang itu sudah biasa kirim uang ke kampung. Sehingga anak-anak kecil itu pikir pasti kerja di Kalimantan itu lebih bagus. Anak-anak ingin punya uang banyak seperti om/tanta/kaka yang rajin kirim uang itu.
Pulau Kalimantan adalah magnet bagi kaum buruh perkebunan sawit karena punya tanah yang subur dan kaya. Meskipun kerja petik kepala sawit saja, buruh sudah punya doi banyak. Tidak heran, banyak pemuda /i di kampung Halibaurenes menghilang sejak kecil. Mereka rame-rame pergi untuk kerja ke Kalimantan. Mayoritas bekerja sebagai buruh pemetik kelapa sawit di Sinar Mas Agribusiness and Food.
Moment 100 Tahun Eka Tjipta Widjaja adalah moment yang tepat untuk mengenang realitas perburuhan kelapa sawit di pulau Kalimantan yang subur dan kaya. Sinar Mas dan Keberagaman adalah kunci kesuksesan Eka Tjipta Widjaja. Sinar Mas Agribusiness and Food memiliki para buruh berasal dari pelbagai latar belakang suku di Indonesia.
Eka Tjipta Widjaja telah mewariskan kebaikan yang tiada taranya bagi Indonesia. Ia memberi teladan hidup untuk keluhuran budi dan tekad untuk hidup sejahtera. Ia mendirikan Sinar Mas untuk Indonesia. Bagi kaum buruh asal Indonesia, perkebunan kelapa sawit adalah ladang kerja untuk meraih rezeki. Banyak sama saudara buruh asal Indonesia telah menikmati hasil kerja dan menjadi sejahtera. Tetapi tidak sedikit sama saudara buruh telah menderita sakit dan kehilangan nyawa di Kalimantan demi meraih rezeki yang layak.
****
Saya menemui Paulus Mali yang sedang membangun rumah baru di kampung Halibaurens. Rumah baru itu adalah hasil kiriman uang dari anak wanitanya, Nolda & suami. Nolda & suami kini bekerja sebagai buruh di sebuah lokasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Paulus mengatakan bahwa untung ada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sehingga Nolda & suami bisa mendapatkan uang untuk membangun rumah baru ini. "Selepas dari SMP, awalnya Nolda bekeja sebagai penjaga toko di Halilulik. Uang dari pekerjaan itu tidak cukup membiayai hidupnya sehari-hari, apalagi membangun rumah tembok", ceritera Paulus.
Lain Nolda, lain Agus Kolo, Agus Koli kini berganti pekerjaan sebagai petani di kampung halamannya, Nurobo, desa Meotroi, Kab. Malaka di Prov. NTT. Ia baru pulang dari Kalimantan tahun 2010 yang lalu. Lelaki berumur 45 tahun itu kini masih bujang. Agus masih menyimpan kenangan pernah bekerja sebagai buruh di Perusahaan Sinar Mas di Kalimantan. Saya berbicara dengan Agus Koli di suatu siang. "Masih lebih baik Sinar Mas", ceritera Agus Koli.
Di Kalimantan, ratusan ribu buruh kelapa sawit asal NTT saat ini bekerja untuk mengais rezeki. Mereka pergi dengan cara legal mapun illegal. Kaum buruh punya cita-cita ingin mendapatkan kenyamanan di tempat kerja meskipun tidak punya dokumen lengkap. Mereka sering lari keluar-masuk hutan untuk menghindari kejaran polisi. "Buruh illegal di Kalimantan-Indonesia masih lebih enak, modalnya cuma KTP. Tetapi jadi buru sawit di Malaysia harus punya banyak dokumen, seperti paspor dan visa, hal-hal ini yang sulit diperoleh.", kata Agus Koli.
Buruh kelapa sawit adalah kerja yang andalkan kekuatan fisik, keberanian dan kerja keras. "Itu semua membuat saya menderita luka dan sakit fisik karena tubuh saya selalu terkena buah sawit yang jatuh. Tak bisa tahan sakit, saya putuskan pulang ke kampung", katanya. Bagi Agus, kesehatan adalah hal utama bagi dirinya.