Lihat ke Halaman Asli

Blasius Mengkaka

TERVERIFIKASI

Guru.

Malaysia, Kini Berjarak Setipis Embun

Diperbarui: 7 Januari 2019   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabut di Malaysia (Foto: Rahman Sabon/Kompasiana)

Dahulu mendengar kata Malaysia, pikiran kami di NTT merupakan tempat yang berjarak amat jauh. Malaysia adalah nama sebuah negara tetangga, sebagai sebuah tempat pertaruhan hidup-mati kaum lelaki NTT mencari nafkah.

Dahulu dengan jaraknya jauh dari kampung halaman membuat Malaysia adalah seperti kebanggaan dalam pertaruhan hidup-mati lelaki NTT meraih rezeki yang layak. Kini tampaknya tidak seperti dahulu lagi. Dengan komunikasi yang lancar, Malaysia adalah negara tetangga yang cepat mendengarkan.

Pada menjelang Paskah tahun 2017, tengah malam, ibuku memberitahukan kepada saya bahwa saudara kandungku Frans akan tiba di rumah dengan penerbangan nostop Kualalumpur-Kupang esok harinya. Ia akan tiba esok hari itu juga. Tentu saja kami sekeluarga merasa senang dan bahagia bisa bertemu kembali dengan saudaraku lalu merayakan Hari Raya Paskah bersamanya di rumah. Dia sudah berada di Malaysia untuk mencari nafkah sejak tahun 2008.

Saya tidak ingat persis, bagaimana dan sejak kapan sampai keluargaku akrab dengan pekerjaan di perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Seingat saya, pada tahun 1990-an, saat saya masuk untuk mulai belajar di SMA Seminari Lalian, sepupuku Poli Naben, dalam umurnya yang masih 15 tahun berangkat ke Malaysia. Dia bekerja selama bertahun-tahun sampai sekarang dan dia hampir lupa pulang ke Belu dan Nurobo-Malaka-NTT, kampung halamannya.

Perkebunan sawit di Malaysia (Ist)

Sejak tahun 1990-an, saat saya menikmati liburan di rumah, maupun setelah itu setelah saya tamat S1 dan bekerja sebagai guru, saya lebih banyak mendengar ceritera-ceritera tentang bagaimana Poli dan saudara/iku mengirim uang ke rumah dari Malaysia. Kiriman uang dari Malaysia itu digunakan untuk membuat rumah baru dan membeli ternak. Bagi kami keluarga di NTT, anak atau keluarga yang merantau ke Malaysia lebih didengarkan karena mereka punya banyak uang dari pada anak-anak sekolah.

Dari sepupuku Poli Naben inilah titik awal untuk bertahun-tahun sesudahnya, sepupu-sepupuku ramai-ramai memilih untuk pergi dan bekerja di Malaysia sebagai TKI dari pada memilih sekolah. Hampir semua pergi dalam usia remaja, baik wanita maupun lelaki.

Hingga kini saya tidak ingat persis jumlah mereka di Malaysia tetapi konon mendekati 100-an keluargaku di Malaysia. Dengan bantuan 4 orang sepupuku yang saat itu bekerja di Malaysia, yang bernama Simon, Berek, Nuel dan Eman itulah kakak Frans mengadu nasib ke Malaysia pada tahun 2008.

Dia berceritera bahwa dia berangkat dari Kupang menuju Batam dengan perjalanan melintasi Sumatera. Dari Batam, dia menyeberang ke daratan Malaysia hanya dengan KTP tentu saja tanpa pasport. Barulah setelah, beberapa tahun bekerja di Malaysia, dengan bantuan bosnya dan pihak KBRI di Kualalumpur, dia mendapatkan pasport dan visanya. Rata-rata semua bekerja di perkebunan.

Sejak Frans pergi ke Malaysia, sepupuku-sepupuku pulang untuk menikah. Sekarang hanya tinggal sekitar 3-4 saudara kandungku yang bekerja saat ini. Konon di sana, ikatan kekeluargaan para perantauan dari NTT dipererat sehingga mereka bisa saling membantu jika ada kesulitan.

Boleh dikatakan bahwa dengan bekerja di Malaysia, Frans bisa mengirim uang untuk biaya anak-anaknya bersekolah. Kini anak-anak Frans sudah selesaikan SMA, tinggal si bungsu Vinsent duduk di kelas XII sebuah SMA Negeri di Belu.

Frans juga sangat cepat mengirim uang apabila ada kesulitan di rumah. Begitu cepat uang tiba. Kiriman uang itu diterima oleh saudariku Yustina.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline