Menjadi pribadi yang beriman adalah tujuan pembentukan pertama dalam pendidikan. Artinya konsep imanensi dan transendensi diri yang digapai siswa/i mendapatkan perhatian pertama di sekolah. Konsep dasar ini memberikan pengakuan adanya "partisipasi". Konsep ini berkeyakinan bahwa manusia mengambil bagian dalam Tuhan Yang Maha Sempurna.
Realisasi terhadap keyakinan di atas membutuhkan ketelitian dan konsentrasi penuh dalam bimbingan. Dalam bimbingan di sekolah dapat diketahui bahwa setiap manusia memiliki tingkatan tertentu dalam pemerolehan nilai-nilai transendensi diri. Misalnya dalam program pengayaan, ada kenyataan bahwa kelompok siswa/i ini ternyata lebih benar dari siswa/i yang lain. Atau kelompok siswa/i ini lebih baik dari kelompok siswa/i yang lain. Transendensi dimanifestasikan dalam doa dan meditasi. Tetapi doa dan meditasi hanya satu aspek yang utama, aspek intinya adalah aksi atau kerja.
Tingkatan nilai transendensi diri merujuk pada kondisi yang melampau fisik atau kodrat manusia. Sifat tingkatan transendensi ini pada akhirnya menunjukkan kualitas aksi atau kerja. Ini sesuai dengan gagasan Aristoteles: existence over esense. Artinya aksi atau kerja melampaui keberadaan. Sehingga sejauh sesuatu berada dalam aksi (kerja) sejauh itu ia sempurna.
Tingkatan dalam sifat-sifat transendensi setiap manusia, yang bisa diamati dalam bimbingan amat membantu individu dalam peziarahan hidupnya. Sejauh individu benar, sejauh dia baik, sejauh dia sempurna, maka dia berada dalam koridor bimbingan yang benar menuju kepada tujuan pendidikan.
Nilai-nilai atau kualitas hidup merujuk pada pengertian-pengertian transenden seperti: baik, benar, satu, kuasa, dan besar. Pengertian-pengertian ini terbuka pada pengertian yang tak terbatas (Maha Sempurna).
Tetapi untuk memiliki pengertian-pengertian dalam dirinya, manusia membutuhkan pergumulan dan kerja yang terus-menerus. Inilah berkembang konsep long life education, pendidikan seumur hidup. Pendidikan harus sampai pada tingkatan ideal sekian sehingga pada titik tertentu, derajat transendensi manusia meningkat sampai melampaui kodradnya. Dan manusia terus mempertahankan performa pemerolehan transendensinya secara demikian.
Ini tidak lain jika manusia mendobrak tatanan kehidupan situasionalnya masing-masing. Misalnya dalam konteks budaya setempat, keyakinan budaya manusia belum pada tingkatan transendental dan adikodrati. Hal ini tercermin dalam keyakinan religi dalam agama bumi masih pada tingkatan kodrat semata-semata. Tetapi itu adalah akar dan dasar budaya kita. Sebab hal-hal terkait pencapaian transendensi harus berakar dari kodrat.
Nilai-nilai transendensi yang berhasil digapai harus bersifat indenpendent. Tidak menganggap bahwa keyakinan budaya yang masih bersifat kodrat atau fisik tidak baik dan norma-norma transendensi lebih baik. Penggapaian nilai transendensi diri dalam diri siswa/i harus berada di antara kodrat dan adikodrati. Hasil dari pendidikan adalah peserta didik harus mendapatkan indenpendensi transendensi diri yang berkembang terus-menerus ke arah yang lebih.
Selamat menyongsong tahun baru 2019!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H