Insiden berdarah antara UN-PKF vs TNI pernah terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste pada tahun 2001.
Insiden itu menyebabkan jatuhnya korban yang bernama Sertu Lirman Hadimu (21 tahun) dari pihak TNI.
Pertanyaan kita ialah mengapa Sertu Lirman Hadimu tidak mendapatkan penghargaan atas peristiwa itu? Padahal ia gugur saat menjalankan tugas negara di perbatasan.
Jika dibandingkan dengan Prajurid UN-PKF Leonard William Manning yang juga gugur di Timor Timur telah mendapatkan medali NZOSM secara anumerta dari pemerintah Selandia Baru pada tahun 2003.
Setidaknya ini menimbulkan berbagai tafsiran. Penyelidikan yang dilakukan oleh militer Indonesia, UNTAET dan UN-PKF agaknya menemukan bukti yang kurang mendukung.
Pihak UN-PKF menemukan bukti bahwa pasukan UN-PKF ditembak sebelumnya lalu baru membalas dengan gencar
Selain itu, tidak ada bukti bahwa Sertu Hadimu membawa rekannya atau masyarakat sehingga dipastikan bahwa Sertu Hadimu saat itu berada sendirian di lokasi.
Menurut Pangdam Udayana saat itu, Mayor Jenderal TNI William da Costa seperti dikutip Gatra.com (29/07/2001), dalam insiden itu, Komandan Regu (Danru) II-Peleton III-Kompi C itu sedang berada di luar pos tanpa melapor, berpakaian preman dan membawa senjata di garis batas negara.
Hal-hal ini yang memberatkan Sertu Lirman Hadimu sehingga kematiannya dianggap sebagai kesalahan operasi, bukan prestasi. Jadi korban tewas karena telah melanggar aturan operasi.
Gatra.com mencatat bahwa pada hari Sabtu, 28 Juli 2001, jam 12:45 Wita, Sertu Lirman Hadimu tewas oleh berondongan tembakan pasukan UN-PKF di perbatasan yakni 20 meter dari garis batas (Tactical Coordination Line - TCL) dalam wilayah Indonesia, di Desa Alas, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Penembakan itu dilakukan UN-PKF hanya sekitar 1 tahun setelah tewasnya prajurid UN-PKF Leonard Manning dan hanya beberapa kilometer dari lokasi Prajurid Leonard William Manning, anggota UN-PKF asal Selandia Baru (NZBatt) ditemukan tewas dan dimutilasi.