Pemahkotaan dan pengakuan raja oleh pemerintahan Belanda pada abad 18 sampai dengan awal abad 19 Masehi masih meninggalkan jejak-jejak adanya penguasa atau rajah putih berdampingan dengan raja pribumi. Dalam dokumen pengangkatan dan pelantikan raja Silawan ditemukan adanya penandatangan penguasa kolonial Belanda di Kupang mewakili ratu Belanda. Meskipun pengangkatan itu bermakna pemahkotaan raja, namun ternyata ada bayang-bayang adanya rajah putih di dalamnya.
Pada berbagai wawancara saya dengan para tua adat Belu, saya menemukan bahwa tempat tinggal keluarga raja atau istana raja wilayah tetum Belu selanjutnya dinamakan Umametan. Umametan artinya uma=rumah/istana, metan=hitam atau gelap. Raja disebut juga Nai Metan. Jadi Umametan artinya istana penguasa berbadan gelap, yang mengacu pada penguasa pribumi. Sampai sekarang suku Umametan dikenal di wilayah tetum-Belu sebagai suku kerabat dan keluarga raja-raja Belu.
Setidaknya dengan nama Umametan menimbulkan berbagai penafsiran yang mestinya perlu kita buka. Umametan, yakni rumah penguasa kerajaan bermakna, bahwa raja dan keluarganya berkuasa dari sesuatu yang gelap, kasat mata, sesuatu tempat yang sejuk dan hangat, tempat yang jauh dari panas terik menyengat. Situasi panas terik akibat cahaya ialah dunianya rakyat biasa, di mana rakyat biasa selalu akrab dengan mentari dan panasnya karena mereka harus bekerja di ladang dan lautan. Dalam konteks inilah, kita melihat adanya raja yang hanya duduk di rumah dan menikmati kerindangan dan kesejukkan sementara rakyatnya bekerja keras di ladang dan laut.
Tafsiran berikut ialah Umametan menunjukkan esensi penguasa lain di wilayah Timoronderhoorigeden bahwa ada penguasa putih atau raja putih. Penguasa atau raja putih ialah raja berkulit putih yang identik dengan raja kelahiran atau berasal dari ras putih Eropa. Dengan menyibak sejarah pada abad 18-19, pada saat raja-raja pribumi kita dilantik dan diakui sebagai bagian dari bangsa taklukan oleh kolonial Belanda,muncul penguasa monarki putih di Sarawak. Selanjutnya disebut rajah putih Sarawak.
Sejarah mencatat bahwa pada abad 18 Masehi muncul penguasa monarki Serawak yang betrasal dari bangsa kulit putih yang kemudian disebut sebagai rajah putih Serawak. Rajah putih Sarawak memerintah mulai dari tahun 1841 sampai dengan 1946 atau selama 105 tahun (Bdk.Runciman Steven, The White Rajahs: A History of Sarawak from 1841 to 1946, Cambridge University Press, 1960, sebagaimana dikutip Wikipedia). Sejarah juga mencatat bahwa selama 105 tahun ada 3 orang rajah putih yang memerintah yakni:
- James Brooke (Raja Putih Sarawak I) (1841-1868)
- Charles Anthoni Johnson Brooke (Raja Putih Sarawak II) (1868-1917)
- Charles Vyner Brooke (Raja Putih Sarawak III) (1868-1946)
Tentunya bayang-bayang rajah putih dalam istana raja-raja kita pada awal abad 18-19 tetap terasa dalam kalangan istana raja-raja tersebut. Rajah putih memang secara de facto tidak pernah ada dan berkedudukan di nusantara saat itu namun, rasa kepribumian sebagai sesama ras melayu agaknya tetap terasa juga di wilayah nusantara sebagai akibat dari kehadiran raja putih di Sarawak yang saat itu sebagai wilayah protektorat Britania raya. Jadi esensi Umametan sebagai suku raja tetum di Belu NTT pada abad 18 dan awal abad 20 agaknya masih berada di bawah bayang-bayang pendudukan raja putih.
Baca artikel-artikel lain:
1. Bertemu pewaris artefak kerajaan Silawan di Belu-NTT
2. Maromakoan, penguasa tertinggi Timor
4. Meneliti jejak-jejak komisaris VOC J.A.Paravicini di Timor (1756-1766)