Saat saya mengajar di pusat kota Kabupaten, saya meminta ijin mama untuk kos di tengah kota. Saat itu saya indekos di sebuah kamar yang terletak di sebelah Sekolah tempat saya mengajar dengan iuran perbulan Rp 200.000. Seingat saya, Iuran untuk kamar kos itu saya bayar tepat waktu. Sekali waktu, ibu kos datang lalu mengeluh kepadaku tentang 1 keluarga yang terdiri atas 3 jiwa pada kamar kos sebelah yang menunggak uang kos hingga bertahun-tahun. Bahkan keluarga itu mulai memperlakukan rumah kos itu tak ubahnya seperti milik sendiri. Sejak saat itu, saya ingin keluar Indekos itu karena tak ingin saya dikatakan sebagai orang terlantar. Pikiran saya kembali ke rumah mendiang ayahku. Mendiang ayah semenjak membentuk keluarga dan melahirkan kami, beliau bersama ibu sudah memikirkan bahwa tanah ialah investasi paling tepat untuk masa depan.
Saya sadar bahwa kehidupan saya hari ini ialah hasil kerja keras masa lalu dan juga merupakan hasil investasi masa lalu yang telah saya lakukan bersama mendiang ayah-ibuku. Pekerjaan saya kini ialah seorang pendidik swasta, dengan gaji yang lumayan meski dibayarkan sekali dalam beberapa bulan. Namun hasil kerja masa lalu ayah dapat terus menghidupi kami, sepeninggalnya ayah. Tanah-tanah warisan mendiang ayah ternyata merupakan investasi paling penting dalam menghidupkan kami sekeluarga.
Sebagai penduduk sebuah kabupaten di NTT, hampir semua penduduk memiliki pemikiran yang sama yakni berinvestasi tanah untuk kehidupan masa depan. Bagi saya, tanah bukanlah satu-satunya investasi namun ternyata sangat membantu dalam kesulitan. Saya dapat merasakannya ketika mau membeli kendaraan roda dua baru untuk transportasi ke sekolah, ketika surat-surat sekolah belum benar-benar meyakinkan Bank untuk mencairkan kredit, surat Sertifikat Hak Milik Tanah, menjadi jaminan yang paling dipercaya oleh Bank. Ketika saya menunjukkan lembaran Sertifikat tanah itu, Bank pun setuju lalu mencairkan dana cukup banyak untuk membeli kendaraan baru.
Kini saya berjuang untuk mencicil pembayaran gadai sertifikat tanah dengan gaji saya setiap bulan, syukurlah hingga artikel ini kutulis cicilan kredit itu hampir lunas bahkan tinggal sedikit saja. Selain itu, kami masih memiliki bidang tanah yang lain dan tetap mengolah tanah. Lumayan, dari lahan itu, kami masih memanen padi, jagung, sayuran segar, tomat, cabe, terung, kacangan, labu, mangga, kelapa, dll.
Bahan-bahan makanan itu kami panen langsung dari lahan peninggalan mendiang ayah yang mendiang ayah investasikan sejak masa membentuk keluarga bersama ibu. Selain itu, saya berniat tetap menginvestasikan tabungan-tabungan uang dari hasil gaji saya untuk masa tua dan simpanan pendidikan anak-anak kelak. Saya juga cukup puas dengan Jamkesmas yang diberikan oleh pemerintah di mana saya dapat menikmati layanan kesehatan yang sedikit lebih murah dari tanpa kartu Jamkesmas dari RS terdekat. Dari semuanya itu, saya tahu bahwa betapa berkuasanya hari ini atau saat ini untuk menyiapkan masa depan yang baik. Tanpa persiapan yang kita lakukan hari ini untuk masa depan, maka masa depan kita akan sulit dan mengalami kendala. Salam perubahan menyongsong masa depan cerah dengan berinvestasi tanah dan gaji mulai hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H