Suatu hari minggu di bulan April 1995, setelah selesai ibadah sabda, guru agama stasi tampil di depan panti sabda gereja Stasi. Dia memarahi umat yang hadir dengan sangat, teristimewa umat di sekitar gereja stasi.
"Mengapa kalian tidak ikat kambing dan babi-babimu dengan baik? Binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran di sekitar gereja stasi. Hewan-hewan kambing mendobrak pintu gereja lalu menanduk patung bunda Maria. Patung itu jatuh dan hancur berkeping-keping. Kita tidak punya patung bunda Maria lagi", kata sang guru agama gereja stasi itu dalam bahasa tetum.
Dari atas mimbar gereja, saya agak terkejut dan tidak menyangka, sang guru agama stasi berbicara demikian.
"Umat harus jujur, siapa yang hancurkan patung itu, kalau tidak kita akan terkutuk," kata sang guru agama.
Selanjutnya, saya tidak ingat lagi perkataan sang guru agama stasi yang setiawan itu, sebab tidak berapa lama kemudian, seorang kawan saya, (frater waktu itu) meminta mike, lalu berbicara, dia menyesalkan kejadian itu dan meminta agar kalau bisa pelakunya diusut tuntas. Setelah selesai, tema pembicaraan waktu ibadah sabda dibawa ke ruang makan. Kami bertiga membahas kira-kira patung bunda Maria yang hancur itu dibuat oleh seseorang, ataukah hewan ataukah jatuh sendiri? Bruder Arnold menceriterakan tentang kelompok pemuda katolik stasi yang menduga (Bruder Arnold sekarang eks Bruder, sama sepertiku eks frater), kehadiran seorang pemuda tak dikenal masuk ke dalam gereja lalu dia membanting patung bunda Maria di dalam gereja hingga hancur lebur setelah itu dia menghilang. Dia orang kristen juga, namun dari aliran yang mengatakan bahwa orang katolik menyembah patung, bukan menyembah Tuhan Allah.
"Jadi pemuda-pemuda di sini sementara cari orang itu", kata Br. Arnold.
Namun kami bertiga lebih sepakat dengan isi pengumuman dari sang guru agama stasi tadi. penyebabnya ialah serbuan hewan-hewan.
"Jangan cari kambing hitam. Patung itu sudah hancur. Biarlah. Sudahlah. Jangan cari kacau di sini teman-teman. Kita datang untuk cari ilmu, cari pengalaman pastoral. Lebih baik kita beli ulang patung bunda Maria yang baru saja", usul saya.
Kedua temanku setuju. Tapi uangnya dari mana? Nah, untuk itu, kami bertiga sepakat agar uang bulanan saku kami bertiga untuk bulan ini kami gunakan untuk beli patung bunda Maria baru. Harganya hanya Rp 12.500 waktu itu, sebelum krisis moneter terjadi. Hari kamis dalam bulan itu ialah tanggal 1 Mei. Pas hari itu, magister membagi uang saku untuk masing-masing frater dan bruder Novis tiap orang Rp 5000. Jadilah uang terkumpul Rp 15.000. Br. Arnold langsung membeli sebuah patung bunda Maria baru lalu meminta Pater memberkati patung baru itu. Untuk sementara dia simpan di dalam kamarnya yang sempit.
Hari minggu berikutnya, gereja stasi itu sudah punya patung bunda Maria yang baru, hasil uang keroyokan kami bertiga. Lumayanlah, demi keamanan, sejak patung bunda Maria baru itu ada di dalam gereja, tak ada lagi isu dan berita sani-sini bahwa itu merupakan akibat dari perilaku kelompok-kelompok pemuda tak dikenal dari aliran lain, yang tidak paham esensi devosi kepada St. Maria. Mereka umumnya mengira, umat katolik menyembah patung atau Dewa.
Selanjutnya, pada minggu berikutnya, hari minggu, gedung gereja stasi itu ditutup. Umat semua sedang mengikuti acara adat dari sebuah rumah adat besar tetum. Kami bertiga memutuskan untuk ikut mereka. Tiba di sana, kami membuat ibadah di tengah pesta adat. Gereja telah dibawa ke rumah adat. Malahan kami seperti berbicara sebagai seorang tua adat suku besar itu.