Salah seorang kenalan saya di Belu, mendapatkan undangan adat untuk menghadiri kematian, sementara itu uang kuliah anaknya di Perguruan Tinggi menanti untuk dibayar. Dia juga bingung untuk menghidupi 7 anak sepeninggal suaminya pergi ke Malaysia. Terdesak oleh kebutuhan, dia akhirnya memilih kredit harian. Tak besar memang, hanya Rp 500 ribu. Namun cicilan uang kredit itu harus dibayar perhari. Sehari dia harus bayar Rp 50 ribu untuk beberapa bulan.
Usahanya? Amat sederhana: berjualan pisang goreng tanpa bangunan Permanen alias Kios. Pisang goreng ditaruh di dalam dulang lalu anak-anaknya menjajakan keliling kampung.
Maaf, saya tidak tahu kelanjutannya tapi pada suatu malam, seorang pria berkendaraan motor berpapasan dengan saya di depan rumah kami. Dia katakan, "Bapak kenal nama orang ini?" Saya jawab, "Ya saya tahu,dia kenalanku tinggal tak jauh dari rumah ini". Pengendara itu melanjutkan, "Kasihan, dia sudah seminggu menunggak kredit harian, anaknya tiba-tiba sakit, dia pakai uang untuk berobat, untuk adat dan untuk anaknya di PT butuh uang. Jadi dia sudah pakai semua uang itu untuk kebutuhan-kebutuhannya itu. Malahan jumlah uang tidak sampai. Saya sudah bosan datang ke rumah itu untuk tagih kredit harian. Persetan", katanya.
Dalam hati saya masih bisa bersyukur kepada Tuhan karena Dia memberikan saya rezeki dan anugerah pekerjaan. Meskipun terlambat gaji, namun saya tetap punya harapan untuk menerima rezeki gajian. Namun itulah realitas di berbagai masyarakat kita. Tagihan kredit harian, kebutuhan untuk rumah sakit, undangan adat yang sudah barang tentu butuh uang dan sumbangan, dan semuanya berat kalau ditanggung sendirian tanpa suami atau isteri. Selain itu, berbagai ketertindihan ekonomi seperti kebutuhan hidup harian, rumah sakit, biaya pendidikan anak-anak, dll tak bisa ditunda. Itu semua merupakan kejadian-kejadian yang mewarnai keluarga-keluarga di masyarakat kita.
Dahulu inginnya mau berkeluarga karena tergiur oleh janji kemanisan cinta. Kalimat dan kata-kata yang indah membuai orang untuk berkeluarga. Lalu kawin dahulu, setelah 3-5 anak baru terkejut untuk menikah. Urusan gereja, sabar dahulu. Kawin dulu, nikah itu kemudian.
Namun ketika anak-anak mulai bersekolah, baru disadari bahwa pernikahan itu penting. Seiring dengan makin tingginya kebutuhan keluarga, maka kehidupan keluarga mulai dianggap membebankan. Merantau merupakan jalan keluar. Suami merantau untuk cari kerja di Malaysia atau Kalimantan, meskipun umurnya sudah kepala lima. Isteri dan anak-anak tinggal di rumah. Di Malaysia atau Kalimantan, suami kawin lagi, lalu mendengar suaminya kawin lagi, istri di kampungpun kawin lagi.
Agaknya pada zaman sekarang, agama, setelah Sakramen Permandian dan Sakramen Ekaristi, hampir tidak dibutuhkan lagi. Pikiran orang sangat praktis, apakah agama yang memberikan orang makan-minum setiap hari? Apakah agama membantu orang keluar dari kesulitan hidup? Apakah agama mendengarkan kesulitan hidup orang? Apakah agama ikut memikirkan kesulitan orang untuk berpikir tentang kebutuhan hidup berkeluarga? Tampaknya agama-agama belum terlalu intens memikirkan kesulitan masyarakatnya, malah membangun jarak dan terkesan memaksa orang untuk beradab tapi melupakan kesulitan orang, mengabaikan penderitaan hidup harian orang.
Bagi saya agama harus bersatu dengan pemeluknya yang menderita. Hanya dengan utamakan cinta kasihlah satu-satunya jalan bagi agama untuk bisa membantu pemeluknya. Ini terlihat dari sang penagih kredit dalam ilustrasi di atas, yang karena cinta dan perhatian, mengatakan mengampuni ibu si pengambil kredit. "Biar sajalah, saya tak mau tagih dia lagi. Saya kasihan sama kondisinya. Biar nanti saya yang bayar kreditnya dengan gaji saya saja", katanya. Semangat cinta kasih dan saling tolong-menolong yang hidup dalam sanubari orang itu telah membuat orang bisa memikirkan dan mengatasi kesulitan sesamanya.
Namun kemiskinan bisa membuat relasi manusia retak bahkan putus. Ini semua menjadi penyebab keretakan hidup dalam keluarga-keluarga kita. Di sekolah, bila anda tanya orang tua kandung dari para siswa/i, nanti mereka akan jawab, "Saya tinggal dengan kakek atau nenek atau om atau saudara saya". Nama orang tua kandungnya terkadang hanya dituliskan dalam identitas namun kehadirannya tidak pernah ada.
Tepatnya dalam zaman sekarang: orang tua itu hanyalah sebagai orang tua Identitas, tapi kenyataan realnya nihil, kosong. Penyebabnya ialah untuk mengumpulkan keluarga secara utuh: bapak, mama, anak-anak-anak itu bukan hal sepele. Itu luar biasa dan mahal sekali. Tidak semua orang bisa melakukannya dan bisa bertahan. Mungkin hanya orang-orang yang benar-benar beriman teguh dan saleh yang bisa melakukannya. Hanya dua kata, selain cinta yang mampu mempersatukan kita semua yakni kesabaran dan kesetiaan. Kalau tidak ada lagi cinta kasih, kalau tidak ada lagi kesabaran dan kalau tidak ada lagi kesetiaan, maka semuanya akan hancur lebur.
Semoga agama dan negara tetap mengandalkan cinta kasih dalam karya-karyanya untuk keluarga dan masyarakat. Dengan itu keutuhan keluarga-keluarga kita senantiasa dilindungi, direstui dan diberkati Tuhan.