Lihat ke Halaman Asli

Blasius Mengkaka

TERVERIFIKASI

Guru.

Pergulatan Tanpa Henti untuk Penegakan HAM Universal

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada tanggal 24 Oktober 2014 yang akan datang, masyarakat dunia akan memperingati berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-69 tahun. Selepas perang dunia I dan II, PBB didirikan demi menjamin perdamaian dunia. Pada awal pendiriannya, PBB mula-mula ditandatangani oleh 5 negara besar dan raksasa ketika itu yakni AS, Inggris, Perancis, Uni Sovyet (kemudian digantikan Rusia) dan Cina-nasionalis (kemudian digantikan RRC). Selanjutnya negara-negara itu menjadi Anggota Tetap DK PBB dan memiliki hak veto dalam sidang Dewan Keamanan (DK) PBB di New York, AS. Setelah PBB didirikan pada 24 Oktober 1945 di San Fransisco, AS, dalam tahun 1948 diumumkan juga Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dikonkretkan pada suatu perjanjian yang disampaikan PBB tahun 1966 dan kemudian diratifikasi pada tahun 1977.

Dokumen PBB itu berpangkal pada keyakinan bahwa tiap-tiap manusia memiliki hak tertentu sebagai pribadi dan bahwa negara tidak boleh mencabut hak-hak itu. Di antara hak-hak dasar itu terdapat hak-hak kebebasan berpolitik, hak-hak sosial dan hak-hak sipil. Deklarasi itu tidak merupakan sebuah perjanjian yuridis. Telah bertahun-tahun diusahakan untuk mengubah status dokumen UDHR menjadi sebuah konvensi multilateral yang mengikat secara yuridis namun usaha itu hingga saat ini belum berhasil. Dalam lingkungan terbatas hak-hak itu sudah diakui secara resmi sebagai norma dalam kehidupan berbangsa seperti dalam konvensi Eropa tahun 1950.

Pembukaan UUD 1945 dan juga batang tubuh UUD 1945 disusun beberapa bulan sebelum PBB lahir di San Fransisco, AS. Piagam UDHR diumumkan tahun 1948. UUD 1945 yang lahir sebelum pengumuman UDHRpun pada mulanya bergulat dengan diskusi. UUD 1945 RI tidak berlawanan dengan daftar hak asasi manusia PBB namun tokoh-tokoh RI tidak mengambil alih daftar hak asasi manusia tersebut. Presiden RI Soekarno secara tegas menolak UDHR karena UDHR menurut Presiden Soekarno bersifat individualistis dan tidak bersifat sosial. Tak ada satu katapun dalam UDHR yang menyinggung tentang hak sosial. Demikian juga Prof Soepomo dan tokoh-tokoh RI lainnya. Menurut mereka bahwa manusia Indonesia ialah pertama-tama sosial maka pusat hidup bukan individu namun kelompok. Maka kebebasan yang dimaksudkan ialah kebebasan yang berasas kekeluargaan dan gotong royong bukan filsafat individu.

Reaksi para pemimpin RI memang cukup beralasan dan masuk akal ketika itu sebab RI sedang dalam masa pertikaian 5 tahun (1945-1950) dengan Belanda yang didukung oleh sekutu-sekutunya. Maka sebagai bangsa yang baru saja merdeka RI lebih mengutamakan hak-hak RI sebagai bangsa yang merupakan sebuah reaksi keras RI atas kolonialisme pada abad lampau (imperialisme kuno) dan awal abad ini (imperialisme modern). Pemimpin-pemimpin RI ketika itu lebih menekankan hak atas kedaulatan dan identitas, hak atas kebudayaan, kekebalan batas negara dan hak atas sistem politik sendiri dan perkembangan sebagai bangsa.

Sejak diratifikasikannya UDHR tahun 1977, negara-negara di dunia telah digolong-golongkan ke dalam 3 jenis negara berdasarkan tingkat ekonominya yakni: Pertama, negara dunia pertama (the first world societies), kedua, negara dunia kedua (the second world socities) dan ketiga, negara dunia ketiga (the developing countries). Bangsa-bangsa barat teristimewa negara-negara dunia pertama lebih menekankan hak sipil dan hak pribadi (individual). Oleh sebab banyak negara-negara dunia pertama (negara-negara kaya) yang memiliki hak veto di tubuh PBB maka UDHR lebih diterjemahkan kepada hak-hak kebebasan individual dan penitikberatan pada hak-hak sipil (hukum sipil), misalnya: hak milik, hak hidup, perlindungan yuridis, bebas berpendapat, bebas bathin, bebas agama dan bebas kumpul. Hak-hak individu dan hak sipil itu berfungsi melindungi individu terhadap kekuasaan negara. Keinsyafan hak-hak ini telah berlangsung di seluruh negara Eropa yang selaras dengan munculnya ide demokrasi dalam jiwa bangsa-bangsa Eropa.

Negara-negara dunia ketiga menuntut kebebasan manusia sebagai manusia untuk berkembang, barulah setelah itu hak-hak sipil (hukum sipil) diberikan. Kenyataannya bahwa sering terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia di dunia ketiga oleh sebab penjualan senjata modern kepada kelompok atau kekuatan negara. Sebelum hak-hak hidup dan hak-hak kebebasan manusia sebagai manusia diberikan kepada negara dunia ketiga maka hak-hak sipil menjadi sulit didapatkan oleh negara-negara dunia ketiga.

Demokrasi pada negara-negara miskin (dunia ketiga) bukan demi penegakkan hak-hak sipilnya namun lebih kepada upaya kelompok-kelompok pemimpin untuk merebut kekayaan dan eksistensinya sebagai bangsa. Kurupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merajalela di negara dunia ketiga oleh sebab ada upaya dari negara dunia ketiga untuk menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa namun menindas hak-hak warganya. Semangat UDHR sebagaimana yang dikonvensikan dalam konvensi Eropa tahun 1950 kelihatannya menyembunyikan sesuatu. Konvensi itu menampakkan suara orang Eropa untuk memperkuat posisinya merebut hak-hak sipil berdasarkan hukum sipil namun menyembunyikan ketidakadilan dalam pemerataan kekayaan dan mereduksi perkembangan manusia di negara dunia ketiga dengan cara memproduksi sebanyak mungkin senjata-senjata modern lalu mengeksportnya ke negara-negara dunia ketiga.

Tidak ada konvensi hukum secara tegas yang menyatakan bahwa negara-negara kaya wajib membagikan kekayaan dunia secara adil menyebabkan adanya ketidaadilan ekonomi dan sosial dunia di balik pendirian PBB. Malahan setiap tahun senjata-senjata tempur modern dieksport ke negara dunia ketiga dan hasilnya terjadi banyak pelanggaran HAM juga di negara-negara dunia ketiga. Demi kepentingan ekonominya negara-negara superpower dunia bisa saja menginvansi sebuah negara demi perlindungan eksplorasi ekonomi dan perlindungan keamanan dunia. Memang dapat disetujui bahwa bangsa Indonesia ikut mendukung perang melawan terorisme dan bahwa terorisme harus dibinasakan dari bumi bisa disetujui namun oleh produksi senjata yang terus saja dieksport ke negara dunia ketiga tentu hal ini menjadi sumber kesangsian negara-negara dunia ketiga terhadap itikad baik negara-negara Eropa.

Presiden RI Soekarno menjadi tokoh dunia yang pernah menyarankan perlu adanya reformasi PBB khususnya Dewan Keamanan PBB pada tahun 1966. Saran serupa juga datang dari PM Malaysia Dr Mahatir Mohammad. Menurut sumber Wikipedia, pikiran untuk mereformasi DK PBB disebabkan keanggotaan Dewan Keamanan (DK) PBB merupakan warisan perang dunia II. Banyak suara pemimpin internasional telah menyarankan agar lewat reformasi DK PBB maka PBB dapat mengakomodasi perkembangan dunia internasional khususnya negara-negara dunia ketiga, demikian juga terhadap hak veto yang menjadi milik 5 negara besar di dunia perlu ditinjau kembali. Usulan untuk mereformasi DK PBB ini sebenarnya telah disetujui oleh para anggotanya, namun masih terbentur pada bagaimana cara untuk melakukan reformasi tersebut?

Bila negara-negara anggota PBB berhasil dalam mereformasi DK PBB maka PBB hasil reformasi itu harus menampilkan beberapa hal yang penting bagi terciptanya keadilan dan pemerataan sosial dan ekonomi dunia. Perlu legalitas UDHR melalui konvensi umum PBB yang diakui oleh seluruh komunitas masyarakat dunia yang multikulturalisme, multiagama, multiekonomi dan multisosial. PBB yang reformis harus juga menampilkan pengakuan hak-hal sipil negara-negara dunia ketiga. Sehingga negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin juga diakui dan diberikan hak-hak sipilnya secara penuh sebab hak-hak adat hanya tameng bagi masyarakat barat untuk memperkuat posisinya sebagai negara-negara pengekspor senjata modern sebagai sumber pelanggaran HAM di negara dunia ketiga. Seandainya dana untuk memproduksi senjata-senjata canggih itu diperuntukan untuk menolong negara-negara miskin tentu hal itu lebih baik bagi hak asasi manusia. Hak-hak sipil negara-negara dunia ketiga harus diakui demikian juga hak-hak sosial, hak-hak hidup, hak-hak hidup sebagai manusia, hak-hak ekonomi dan keadilan hukum, keadilan sipil, keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh dunia.

_______________________________________________




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline