Lihat ke Halaman Asli

Blasius Mengkaka

TERVERIFIKASI

Guru.

Fenomena Kekerasan Senior Terhadap Junior di Sekolah, Hukum Apakah Itu?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kekerasan di Sekolah kembali terulang, kali ini menimpah Dimas Handoko, mahasiswa junior tingkat 1 STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan) Jakarta Utara. Mahasiswa ini diduga tewas akibat kekerasan yang dilakukan mahasiswa senior terhadap mahasiswa juniornya. Sebelumnya kekerasan juga sering terjadi di sekolah-Sekolah berbasis Kedinasan seperti IPDN, dan sekarang ini STIP. Selain kekerasan antara Senior terhadap Junior yang sering menimpah Sekolah-Sekolah Tinggi Kedinasan, kekerasan juga sering terjadi pada tataran Sekolah Menengah. Sekolah-Sekolah sering melakukan sistem penerapan kedisiplinan yang malahan lebih ketat dari pada Sekolah-Sekolah militer di Indonesia.

Kalau kita mengamati secara teliti sistem pembinaan di sekolah-sekolah itu, sering terlihat bahwa pendampingan senior terhadap para juniornya sering lebih dominan dan sering juga mulai lebih banyak lepas kontrol dari para pembimbing. Ambil contoh tentang MOS (Masa Orientasi Sekolah) yang menimpah para siswa/i SMP dan SMA/SMK. Dalam sistem pembinaan seperti itu, seringkali, perlakukan para senior yang membentuk Team Pendampingan yang bernaung di bawah OSIS dan pembina OSIS sering sangat over acting. Kekerasan sering saja terjadi manakalah para siswa/i senior itu kemudian lepas kontrol dari pembimbingnya lalu melakukan upaya main hakim sendiri.

Pembinaan yang dilakukan oleh para siswa/i atau mahasiswa/i senoir sering lebih kepada upaya melampiaskan dendam turunan, balas dendam dan permusuhan. Pemukulan atau penganiyaan sebagai bentuk penyadaran untuk disiplin oleh para senior sering berujung pada luka/kerusakan fisik bahkan kematian. Para mahasiswa/i senor melakukan kekerasan fisik dan mental terhadap para mahasiswa/i junior karena pernah mengalami telah diperlakukan seperti itu oleh para pendahulunya. Kekerasanpun  menular dan terus berlanjut dari generasi dan angkatan-angkatan dalam Sekolah berbasis semi milter seperti IPDN atau juga STIP, dll.

Keberadaan para senior yang berbalut pakaian "preman" di sekolah sering memang tak dapat disangkal. Para senior sering menjadi "Asisten" dari para pembimbing Sekolah dalam masa pembinaan atau pendidikan. Meskipun dalam sistem pendidikan itu tidak disebutkan adanya pelibatan Senior-Junior, namun fenomena senior dalam Sekolah-Sekolah kita memang ada. Para senior dilihat sebagai penegak kedisiplinan ala militer, dalam banyak hal bisa sering sangat membantu dalam peningkatan moral dan kedipilinan terutama dalam hal ketaatan terhadap norma-norma, namun juga berakibat pada kekerasan yang menurun dari generasi ke generasi. Perilaku taat norma sering disamakan dengan pendidikan dalam sistem militer sebab institusi militer sejak lama sungguh menjunjung tinggi kedisiplinan tanpa pamrih.

Sistem pendidikan di Indonesia tidak mengenal istilah wajib militer. Meskipun sekolah-sekolah tertentu yang berbasis Kedinasan telah lama mendrop sistem pendidikan militer, misalnya: SMA Taruna Nusantara, IPDN, dan Pendidikan Kedinasan lainnya seperti STIP. Pendidikan yang mendrop sistem Kurikulum ala militer sering memberlakukan hukuman fisik yang berlebihan sebagai hukuman akibat kelalaian fatal peserta didiknya. Ironisnya hukuman fisik yang diberikan bukan dilakukan oleh para pembimbing namun oleh para seniornya. Hukuman fisik itu sendiri justeru tidak diharapkan oleh para pembimbing.

Dalam wawancara antara salah seorang pembimbing STIP dengan Metro TV, terungkap bahwa para pembimbing justeru meminta agar para Junior wajib melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada para pembimbing agar para senior itu dapat dibina atau dihukum oleh para pembingnya. Namun selama ini dikatakan bahwa para pembimbing STIP tidak menerima laporan adanya kekerasan Senior terhadap Junior. Para Junior selalu mendiamkan kekerasan yang dialaminya padahal kekerasan Senior terhadap Junior tidak ditolerir dalam Sekolah-Sekolah Kedinasan.

Saya yakin bahwa sebagai sebuah Sekolah Kedinasan milik Pemerintah, STIP tidak pernah membuat peraturan yang berisi pemberian wewenang atau kesempatan kepada para mahasiswa/i Senior untuk melakukan kekerasan fisik berlebihan terhadap para mahasiswa Juniornya. Malahan para pembimbing justeru mengharapkan agar para mahasiswa/i dapat melaporkan kepada pembimbing perilaku kekerasan Senior terhadap Junior agar dapat diupayakan jalan keluarnya.

Oleh karena tidak ada Laporan, maka bisa jadi kekerasan itu merupakan salah satu bentuk hukum rimba dalam dunia Pendidikan Kedinasan. Dalam peristiwa tragis itu, sekelompok Senior Sekolah itu merasa memiliki kekuatan untuk menghukum Juniornya karena mereka menganggap diri telah memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih. Padahal ini sesuatu yang salah. Pendidikan dengan sistem penekanan berlebihan dari Senior terhadapa Junior akan membuat pendidikan menjadi penuh kekerasan.

Jalan keluar yang ditempuh ialah sebaiknya Sekolah perlu mengambil alih sanksi terhadap tindakan indisipliner yang dilakukan oleh para Junior atau Senior. Sebaiknya tidak boleh terdapat penegak-penegak disiplin yang bergerak atas dasar permusuhan dan balas dendam. Sebaiknya para siswa/i junior/yunior perlu melakukan kontrol ketat terhadap perilaku kekerasan yang dialaminya dengan cara melaporkannya kepada Kepala Sekolah atau guru pembimbing.

Sebaiknya perlu gerakan anti kekekerasan dalam lingkungan sekolah atau Kampus non militer atau semi militer dengan cara menghidupkan kembali suasana rekreasi bersama, atau kegiatan-kegiatan yang memupuk rasa persatuan dan kegembiraan bersama dalam Pendidikan. Perlu pembubaran Organisasi Mahasiswa/i Senior yang sering melakukan kontrol sosial di luar pengetahuan sekolah. Bila mereka tidak dibubarkan atau dikontrol secara ketat maka mereka dikuatirkan bisa melakukan serangkaian kekerasan kepada para Juniornya.

Fenomena kekerasan senior terhadap Junior di Sekolah tetap tidak bisa ditolerir sebab Sekolah merupakan Lembaga Pendidikan yang berdaulat dan bermartabat. Tidak ada lagi intervensi luar terhadap sistem Pendidikan manapun sebab Pendidikan itu sudah memiliki otonomi dan kedaulatan penuh. Institusi Pendidikan bersifat otonomi penuh dalam arti: tidak ada pemerintahan di dalam pemerintahan Pendidikan. Bagaimanapun kita tetap harapkan agar semoga kekerasan di lingkungan Pendidikan dalam tingkatan manapun segera dihilangkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline