Musim penerimaan lamaran CPNS tiba. Pada papan pengumuman di kantor BKD tertulis: Pemda Anu, menerima lamaran dari para lulusan SMA/SMK/S1/S2 untuk dipekerjakan pada Pemda Anu. Adapun kriterianya sebagai berikut.............dst". Setiap kali membaca pengumuman ini, saya merasa tidak enak, ada sesuatu yang tidak beres. Soalnya ada kata: "dipekerjakan". Dengan itu, saya langsung paham bahwa kata "dipekerjakan", kemudian disamakan dengan PNS. PNS ternyata pekerja yang tidak sembarang, mereka pekerja modern yang paling beruntung.
Sekilas saja berdasarkan pengumuman itu bahwa para PNS ialah seorang abdi negara yang dipekerjakan pada instansi anu. Miris membayangkan yang namanya pekerja. Saya bayangkan kalau ada pekerja pertama-tama tentu ada majikan. Tentu ada majikannya. Itu pasti. Pertanyaan kita: apakah PNS itu sama dengan pekerja? Dan apakah ada majikan dalam birokrat? Para pekerja sering terpaksa bekerja, dibentak-bentak malah, kalau salah bekerja, malas bekerja atau terlambat masuk tempat kerja.
Memang para pekerja yang bernama PNS itu kemudian mendapatkan penghasilan yang pasti dengan tunjangan dan jaminan kesehatan. Namun, setelah beberapa tahun bekerja, pikiran semakin pusing. Tak puas mendapatkan gaji setiap bulan, lebih baik kredit dengan bermodalkan SK PNS. Maka jadilah siklus hidup yang bernama kredit itu. PNSpun mendapatkan sekian puluh juta, lalu digunakan untuk membangun rumah atau usaha kecil-kecilan. Selanjutnya penghasilan semakin morat-marit tak keruan, karena sebagian penghasilan sudah dipotong untuk kredit.
Lalu mulailah berlari pada masalah perjudian, bola guling, adu ayam, dll. Mulai melakukan praktek gelap, memungut sana-sini, menjadi calo, dll. Pekerjaannya mulai jauh dari kredit untuk mendapatkan nilai-nilai kehidupan. Tambahan pula, ditempat kerja atau di sekolah, penampilan seragam PNS mulai kedodoran dan lusuh. Menghadapi semua tekanan hidup dengan biaya yang mahal, stresspun datang. Tambahan pula, jumlah anak lebih dari lima orang, hidup makin miris. Itulah kehidupan PNS yang direkrut dengan sistem, "dipekerjakan". Akhirnya akronimnya tetap sama: PNS itu pekerjakah?
Kalau dia itu pekerja, tentu dia akan merasakan hal yang sama: mengeluh tentang penghasilan yang sering dibayar terlambat, 2,3,4 bulan baru dibayarkan. Lalu setelah bayarpun, telah dipotong-potong dengan kredit dan biaya Sekolah atau kuliah anak-anak. Tambahan pula tuntutan di tempat kerja makin tinggi, ia sering dibentak-bentak karena malas bekerja, salah bekerja atau terlambat bekerja.
Saya kira Indonesia berbentuk Negara Kesatuan Berbentuk Republik di mana bentuk negara ialah Demokrasi Pancasila. Sebuah negara berbentuk Demokrasi, tidak bisa membenarkan cara penggajian berdasarkan sistem pekerja-majikan. Indonesia bukan berbentuk kerajaan dan tidak ada sistem majikan dalam sistem birokrasi kenegaraan. Semuanya punya hak dan kewajiban yang sama, sama di mata hukum. Semuanya digaji berdasarkan prestasi dan kedudukan serta karier. Saya kemudian memahami bahwa mungkin semua yang bekerja di intansi pemerintah ialah pekerja, namun nasib pekerja yang namanya PNS jauh lebih baik dari pada pekerja lainnya.
Mereka punya gaji dan jaminan hidup yang pasti hingga pensiun bahkan hingga meninggal dunia. Itulah yang membuat nasib mereka jauh lebih baik, karena mereka memiliki uang yang pasti, karier yang jelas, penghasilan bulan demi bulan. Mereka disebut tenaga terampil tetap, sehingga mereka tidak termasuk tenaga outsourcing. Mereka mewakili kemantapan dan kematangan!
Boleh dikatakan bahwa dewasa ini, PNS merupakan pekerjaan yang paling diimpikan orang. Semua orang mulai dari yang masih berada di bangku pendidikan maupun yang sudah bekerja, berharap dan berusaha untuk menjadi PNS. Ada yag menunggu bertahun-tahun dengan bekerja sebagai tenaga honor sebelum diangkat menjadi PNS. Sayangnya, kini persaingan semakin sengit dan mahal. Orang lebih suka bukti dan skill, agar bisa diterima menjadi PNS. Itulah sebabnya untuk menjadi PNS/TNI/Polri, perlu biaya besar. Seorang sepupu saya, beberapa tahun yang lalu berhasil lulus dalam testing untuk menjadi anggota Polri setelah orang tuanya menyediakan lebih dari Rp 40 juta ketika itu.
Sekarang untuk menjadi anggota TNI jauh lebih sulit dari pada menjadi PNS atau anggota Polri. Dalam sebuah pertemuan, seorang rekan guru memprotes, Mengapa para putera/i PNS sulit menjadi anggota TNI? Apakah persyaratan menjadi anggota TNI lebih sulit menjadi PNS atau Polisi? Menjawab pertanyaan ini, Dandim Belu hanya terseyum. Dia mengakui bahwa seleksi untuk menjadi anggota TNI sangat sulit. Meskipun gajinya besar. Entah faktor mana yang sangat menentukan menjadi TNI atau PNS, namun yang pasti faktor manusia menjadi satu-satunya persyaratan yang penting. Demikianlah dunia yang penuh permainan, ikut dalam sebuah permainan membutuhkan persyaratan-persyaratan perlu yang mutlak.
__________________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H