Rabu, 31 Desember 2014, saya melewati pergantian tahun 2014 ke tahun 2015 di rumah. Melewati waktu sepanjang hari di depan TV, sambil menonton berita-berita seputar proses evakuasi kecelakaan Airasia di selat Karimata. Tak terasa waktu bergulir sunyi namun pasti menuju penghujung tahun 2015. Membayangkan saat-saat tragedi yang menimpah para penumpang dan awak Airasia yang celaka, tak terasa hati kecil saya ikut larut dalam kesedihan. Kuambilkan 2 batang lilin putih dan kunyalahkan di depan rumahku sambil berdoa mohon peristirahatan kekal bagi para korban tragedi Airasia. Mengenang tragedi Airasia di saat-saat pergantian tahun 2014 ke tahun 2015, sesaat saya terdiam di depan 2 batang lilin yang menyala dalam kegelapan malam pergantian tahun menuju tahun 2015.
Mereka yang pergi, pasti sebelumnya ingin merasakan kebahagiaan atau sesaat merenungkan saat-saat begini, yakni saat-saat ketika waktu tahun 2014 mengalir menuju ambang batas terakhirnya atau pintu gerbang terakhir menuju tahun 2015. Tahun 2014 memang tak akan kembali lagi, sebentar lagi dia akan pergi, ia hanya akan dikenang dalam pengalaman kehidupan dan sejarah yang telah berlalu, entah pahit, getir, senyum dan bahagia, dll.
Itulah peristiwa kehidupan di saat-saat terakhir tahun 2014, ada yang pergi, ada yang datang, ada yang senang, ada yang berkabung. Dan kita di Indonesia kini pada pergantian tahun 2014 ke 2015 sedang berkabung dan sesaat ikut sejenak meratapi kepergian ratusan orang-orang kita sebangsa dalam kecelakaan maut, dengan sebagian besar jenasah yang kini masih terombang-ambing di selat Karimata. Aku berguman dalam hatiku: Oh Tuhanku, betapa tipisnya batas kehidupan di setiap penghujung tahun. Betapa tipisnya batas antara kematian dan kehidupan dalam perjalanan di udara. Dalam ratap tangis kesedihan, hanya satu pinta kami, janganlah Dikau pergi meninggalkan kami sendirian di saat-saat terakhir kehidupan kami. Oh Tuhanku, rangkullah dan peluklah kami bangsa Indonesia di saat-saat suka maupun di saat-saat duka kehidupan ini.
Kemarin, pandangkan saya mengitari halaman rumah. Rumah dan halaman rumah ini, tempat di mana saya tinggal, adalah warisan orang tua dan juga lelulurku sejak tahun 1960-an. Sebagaimana rumah di desa-desa, ada banyak kebun di rumahku, baik di rumah maupun di beberapa tempat. Kebun-kebun itu telah dan akan membantu menopang kehidupan kami sekeluarga ketika gaji ayahku bahkan juga hingga kini ketika saya sudah bekerja dan gajiku terlambat tiba.
Selain kebun, juga ternak sapi, ayam dan babi, telah ikut menopang kehidupan keluargaku bertahun-tahun. Apa jadinya tanpa tanaman dan ternak kami, pasti kehidupan akan kering kerontang seperti kemarau panjang. Tahun ini, seperti biasa, sebagaimana pergantian tahun selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, saya lalui bersama bunda dan saudariku bersama keponakan-keponakan di rumah. Ketika lonceng gereja tengah malam berbunyi, kami semua berjabatan tangan sambil bersyukur bahwa Tuhan masih merestui kami untuk melangkah dalam tahun yang baru lagi. Cinta Tuhan bagi kami memang tak berakhir dan rahmatNya patut selalu kami syukuri sepanjang waktu. Amin
_________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H