Lihat ke Halaman Asli

Labilnya Pemerintah Menetapkan Kebijakan Sektor Migas, Akankah Untung atau Buntung?

Diperbarui: 22 Agustus 2020   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2020 yang merupakan revisi ketiga kebijakan sektor migas berbunyi, "Bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan investasi di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi perlu mengubah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split." Akankah pernyataan tersebut membawa keuntungan bagi pemerintah atau hanya akan menghabiskan waktu tanpa adanya benefit?

Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2020 mengubah Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 yang ditandatangani oleh menteri sebelumnya yaitu Ignatius Jonan, menteri ESDM kabinet pertama Presiden Jokowi. Kedua Permen ESDM tersebut mengatur hal yang sama yaitu tentang kontrak bagi hasil pengelolaan migas di Indonesia. Perbedaan yang mencolok terlihat pada mekanisme bagi hasil kegiatan usaha migas bagi negara dan kontraktor. Peraturan pertama menetapkan secara tegas bagi hasil migas menggunakan skema gross split, dengan hadirnya peraturan baru, sedangkan peraturan terbaru kontraktor diperkenankan mengajukan penggunaan skema baik gross split maupun pengembalian biaya operasi atau yang biasa disebut cost recovery.

Sebenarnya apa yang membedakan antara skema gross split dan cost recovery? Bagaimana implikasinya terhadap penerimaan negara? Sederhananya, pada skema gross split seluruh biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor tidak dapat dibebankan kepada negara. Hal ini berbeda dengan skema cost recovery dimana kontraktor akan mendapatkan kompensasi atas biaya operasi yang telah dikeluarkan terkait operasi migas ini apabila kegiatan usaha yang dilakukan dinyatakan bernilai ekonomis.

Untuk lebih memahami perbedaan kedua skema tersebut, mari kita melihat ilustrasi sederhana berikut. Jika pertambangan memperoleh penghasilan bruto dari migas senilai 100 dan biaya yang dikeluarkan untuk operasi sebesar 60, digunakannya kontrak bagi hasil gross split didapatkan 57% dari 100 menjadi bagian negara dan 43% sisanya menjadi bagian kontraktor. Di samping itu, apabila menggunakan skema cost recovery, penghasilan bruto sejumlah 100 tersebut harus dikurangkan terlebih dahulu dengan biaya operasi sebesar 60 sehingga didapatkan penghasilan neto operasi sebesar 40. Penghasilan neto operasi sebesar 40 inilah yang kemudian dibagi lagi menjadi bagian negara dan bagian kontraktor.

Dilihat dari ilustrasi diatas, skema cost recovery bukan skema yang menguntungkan bagi negara. Hal ini dikarenakan penghasilan yang menjadi bagian negara menjadi lebih kecil karena dasar pembagian menggunakan penghasilan neto. Hal ini dapat juga menimbulkan inefisiensi biaya operasi dan membuka celah markup biaya oleh kontraktor yang tidak bertanggungjawab sehingga penghasilan neto menjadi semakin kecil. Selain itu, skema cost recovery memungkinkan negara tidak mendapatkan bagian sama sekali dari kegiatan usaha migas ini akibat biaya operasi yang melebihi penghasilannya. Hal tersebut bertolak belakang dengan gross split dimana negara akan selalu mendapat bagian, baik kegiatan usaha untung maupun rugi.

Dengan banyaknya kekurangan dari skema cost recovery, mengapa kemudian kini pemerintah melonggarkan kembali kebijakan dengan memberi alternatif penggunaan skema cost recovery? Pertanyaan semacam ini mungkin muncul dalam benak kita semua, namun kembali lagi kepada kutipan peraturan menteri yang tertulis diawal, bahwa pemberian alternatif penggunaan skema cost recovery dinilai dapat memberikan kepastian hukum dan yang lebih utama akan meningkatkan investasi di bidang kegiatan usaha hulu migas. Terlebih lagi dimasa pandemi seperti sekarang ini dimana penerimaan Negara turun akibat melemahnya perekonomian. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberi stimulus bagi para investor untuk meningkatkan investasinya di Indonesia, khususnya di sektor migas.

Terlepas dari perdebatan baik buruknya skema cost recovery ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh negara apabila menerapkan skema cost recovery dalam menetapkan kerjasama. Di antaranya yaitu pengawasan yang lebih baik terhadap biaya-biaya operasi. Jangan sampai dengan adanya pengembalian biaya operasi, lantas membuat kontraktor melakukan kegiatan-kegaitan operasi yang sebenarnya tidak penting. Harus ada batasan-batasan tentang komponen biaya-biaya yang dapat dikompensasi. Kemudian, hal yang harus diwaspadai yaitu adanya potensi markup biaya yang mungkin dilakukan kontraktor untuk meraup keuntungan lebih banyak. Negara perlu memperhatikan besaran biaya yang dilaporkan oleh kontraktor, jangan sampai terjadi inefisiensi dalam pengembalian biaya operasi.

Selain dari segi pengawasan, dalam skema cost recovery ini negara juga perlu untuk menegaskan kembali apa yang disebut sebagai First Tranche Petroleum (FTP). FTP merupakan kebijakan yang mengatur bahwa negara berhak mendapat bagian sebesar 20% dari penghasilan bruto kegiatan usaha migas. FTP merupakan mitigasi resiko dari skema cost recovery berupa tidak didapatkannya bagian negara akibat biaya operasi yang melebihi penghasilan. Sehingga baik untung maupun rugi kegiatan usaha migas pada akhirnya negara mendapatkan bagian sebesar 20%.

Apabila dilihat dari persentase bagi hasil antara skema gross split dan cost recovery, persentase bagian negara sebenarnya jauh lebih besar menggunakan skema cost recovery yang mana sebesar 85% bagian negara dan 15% bagian kontraktor untuk sektor minyak bumi serta 70% bagian negara dan 30% bagian kontraktor untuk sektor gas alam dibandingkan skema gross split yakni sebesar 57% menjadi bagian negara dan 43% menjadi bagian kontraktor untuk sektor minyak bumi serta 52% bagian negara dan 48% menjadi bagian kontraktor untuk sektor gas alam. Oleh karena itu, tantangan agar negara mendapatkan bagian yang lebih besar dengan cara negara harus dapat menekan biaya-biaya operasi agar menghasilkan penghasilan neto yang lebih besar sehingga bagian yang menjadi penerimaan negara pun menjadi lebih besar.

Setiap kebijakan bagaikan dua sisi keping mata uang yang memiliki kelebihan maupun kekurangan. Apapun kebijakan yang ditetapkan pemerintah, pasti kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang lebih menguntungkan bagi negara dan rakyatnya. Kebijakan pemberian alternatif skema gross profit dan cost recovery adalah kebijakan yang terbaik sekarang ini karena dapat memicu semangat berinvestasi. Hal tersebut dilakukan guna memulihkan perekonomian Indonesia pasca pandemi Covid-19. Tugas kita sebagai masyarakat saat ini adalah mengawal penerapan kebijakan-kebijakan yang ada, agar tercapai tujuan Indonesia adil dan makmur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline