Hukum di Indonesia sudah tidak mampu lagi secara efektif dipakai untuk menghukum para koruptor, serta penjahat kelas kakap lainnya. Mengapa? Karena aparat hukum di Indonesia sudah begitu kotor dan korup .
Pada dasarnya, hukum itu dibuat untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat. Tapi kenyataannya, saat ini hukum sudah tidak dijalankan sebagaimana semestinya. Sudah banyak ketidakadilan yang terjadi dalam hukum di negeri ini. Hukum di negeri ini sudah seperti barang, yang diperjual belikan.
Hukum itu seharusnya buta. Hukum tidak memandang kedudukan, harta, maupun rupa. Tapi yang terjadi sekarang, hukum seakan hanya berlaku bagi masyarakat kalangan bawah. Masyarakat menengah kebawah bisa mendapat hukuman yang berat hanya karena kesalahan kecil.
Tetapi, masyarakat yang memiliki kekuasaan atau kekayaan dapat lolos dari hukuman dengan mudahnya. Mereka hanya perlu memberikan sejumlah uang, yang tentu saja tidak dimiliki masyarakat menengah kebawah untuk menyelamatkan mereka dari ancaman penjara. Ironisnya, dengan uang tersebut mereka mampu memutarbalikkan fakta. Mereka yang tidak bersalah harus menjadi korban. Jelas sekali uang lebih berkuasa dibandingkan hukum saat ini.
Salah satu contohnya yaitu kasus nenek Minah yang divonis 1,5 bulan penjara setelah mencuri 3 biji kakao. Padahal harga 3 biji kakao yang diambil nenek asal Banyumas tersebut bahkan tidak sampai Rp. 10.000.
Memang benar , nenek Minah sudah melalukan kesalahan dengan mengambil sesuatu yang bukan miliknya, walau hanya biji kakao. Tetapi, bila dibandingkan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, maka akan tampak ketidakadilannya. Mereka yang melakukan korupsi ratusan juta, hingga miliaran rupiah bisa lolos begitu saja. Adapula kasus dimana orang yang mencuri ayam dipukuli oleh massa, kemudian dipenjara selama beberapa bulan.
Aparat hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim, orientasinya mulai mengarah ke kepentingan dirinya sendiri, salah satunya adalah uang. Siapa yang kuat membayar, merekalah yang akan menang. Sehingga bisa diamati, bahwa hukum diperjualbelikan oleh para aparat hukum.
Contohnya dalam pelaksanaan tugas pengacara yang akan jadi perantara antara terdakwa dengan para aparat hukum. Pengacara inilah yang akan membagi-bagikan uang dari terdakwa kepada para polisi, jaksa, dan hakim. Demikian pula di tingkat banding atau pun kasasi di MA. Ada seorang hakim MA yang membagikan kartu namanya kepada teman saya meski hanya beretemu secara tidak sengaja di sebuah restoran menawarkan "jasa hukum" seperti layaknya salesman kartu kredit.
Ada pengacara yang mengatakan bahwa tarif dia Rp 20 juta untuk sidang di PN. Ada pun untuk membayar hakim, perlu uang Rp 30 juta agar bebas. Ini adalah praktek yang sudah jadi rahasia umum. Oleh karena itu, media massa dan juga para praktisi hukum di LBH menyebutnya sebagai Mafia Peradilan. Sementara di masyarakat umum dikenal istilah "KUHP" yang diplesetkan dengan "KASIH UANG HABIS PERKARA," serta "UUD" yang diplesetkan jadi "UJUNG-UJUNGNYA DUIT."
Contoh, Adrian Waworuntu diberitakan memberi suap Rp 10 milyar kepada Kapolri, sehingga akhirnya para polisi dan jaksa berpura-pura bodoh dengan tidak menemukan bukti, sehingga dalam 4 bulan, akhirnya Adrian bebas dan kabur ke luar negeri. Diberitakan juga Adrian ketika menginap di Mabes Polri mendapat fasilitas kamar AC dan TV serta makanan yang mewah yang juga dinikmati para polisi di situ.
Dengan dalih supremasi hukum, para aparat hukum dengan sewenang-wenang memperjual-belikan hukum tanpa ada yang bisa mengontrol. Hukum hanya mereka tegakkan jika terdakwa tidak punya uang untuk menyuap. Hukum mereka gunakan untuk memeras terdakwa yang tidak bersalah guna memperkaya diri mereka. Berbagai lembaga pengawas aparat hukum seperti DPR, Ombudsman, Komisi Hukum, dan lain-lain, tidak mampu mengontrol dan membersihkan aparat hukum tersebut, karena tidak mempunyai kemampuan/wewenang yang cukup untuk membersihkan aparat hukum kita.