Lihat ke Halaman Asli

Karya Monolog " Dinding "

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DINDING

Karya : Arung Wardhana

Di atas panggung,  beberapa deretan rumah kardus atau rumah triplek yang berjejer, sangat terkesan pemandangan yang kumuh dan tak teratur dengan lampu temaram, beberapa gantungan baju terpampang menunjukkan amburadulnya suasana dempetan rumah itu, beberapa lampu di depan rumah yang hampir putus, terlihat mati hidup, mati hidup, cahanyanya juga hampir pudar, di depannya tampak sebuah rel kereta api yang memanjang di penuhi dengan kerikil-kerikil tajamnya.

Muncul seorang laki-laki, berusia sekitar tiga puluh tahunan dengan memakai kain sarung berwarna ketuaan sebagai simbol kalau orang itu banyak pikiran di saat usianya yang belum relatif tua, kaos oblong  putih yang di kenakannya terlihat pudar juga warnanya, sehingga tampak kecokelatan, dengan bakiak sebagai alas kaki yang menimbulkan efek bunyi kekerasan dalam hatinya, laki-laki itu  berteriak dengan tergesa-gesa seperti orang gila.

LAKI-LAKI               :  “ Hei, matikan semua media yang mendekatimu, jangan pernah    kalian mendekati tv-tvmu!”

Laki-laki itu terus bergerak masuk ke dalam beberapa rumah, dari arah pandangan penonton terlihat mematikan sebuah tv, dan begitu juga dengan tv-tv lainnya di rumah yang berdempetan itu.

LAKI-LAKI               : “ Tukar saja tv-tvmu dengan dinding rumah yang lebih mewah                                 sehingga tak akan ada angin yang akan memasukinya.”

Laki-laki itu terus  berjalan  menyisir depan rumah sembari berbicara dengan kemarahan.

LAKI-LAKI               : “ Atau kalian jual ke pasar loak dengan barang-barang yang sekiranya tak akan menyesatkanmu, atau tukar di rumah-rumah   mereka yang selalu menyuguhkan makanan basi, bangkai-bangkai  tikus, sambal terasi yang di buatnya seminggu lalu. Kalian dengar  itu!”

Laki-laki itu masih melangkah di depan beberapa rumah dengan gaya kegilaannya, tampak sekali tak peduli dengan pandangan penonton yang melihatnya [ seolah-olah mereka adalah orang-orang marjinal di kampung kumuh itu ],  tiba-tiba laki-laki itu terlihat mendengar suara tv yang bersuara dari rumah lain, wajahnya makin menunjukkan kemarahan yang mendalam, suaranya kian lantang dan tampak serak, nafasnya juga ngos-ngosan.

LAKI-LAKI               : “ Hei, siapa lagi itu yang menyalakannya?”

Laki-laki itu mengambil pentungan kayu yang tergeletak  di depan sebuah rumah, ia masuk ke dalam rumah yang terdengar suara tv itu, kemudian tv itu di angkatnya dari dalam  rumah ke  luar rumah dan di hancurkannya tv itu semau-maunya. Ia tampak berusaha menyelamatkan tv  itu dari rampasan pemiliknya.

LAKI-LAKI               : “ Jangan perlihatkan oriented moneymu. Aku mau mangkir dari  tontonan yang kamu buat, aku kutuk kalian yang seakan-akan  semuanya bungkam kala di  dalam laci ada tumpukan uang  ratusan  ribu rupiah.”

Laki-laki  itu terus menghancurkan tv itu sampai terkulai tubuhnya dan jatuh ke tumpukan kerikil tajam, dan ia menangis.

LAKI-LAKI               : “ Kalian tahu gara-gara ini adikku yang masih berusia 12 tahun    sudah memanggul senjata tajam, lalu menyerang teman-temannya hingga akhirnya terbunuh juga, adikku yang berusia 16 tahun, perempuan yang cantik, akhirnya mencari jalan mudah yang   menurutnya gampang mencari uang, tinggal memamerkan   vaginanya  pada semua orang, adikku yang pertama, perempuan yang  ta’at beribadah, tak pernah  lupa setiap hari meninggalkan  Tuhannya, tewas mengenaskan karena di perkosa sekumpulan abg  yang tak terbendung nafsunya karena setiap hari di suguhkan  dengan mimpi-mimpi konyol, mimpi-mimpi yang indah dan   peradaban modern, para perempuan memakai celana pendek yang  seksi, rok mini  yang ketat, dan kaos yang serba bolong, kenapa  tak sekalian saja kalian pamerkan puting dan  vaginanya,  kalau dampaknya pun berpengaruh negatif, sayangnya  aku tak memiliki dinding baja dalam rumah, begitu juga adikku, mungkin juga aku tak punya akar yang kuat dalam rumahku, sementara  mereka terus berlomba-lomba mengumpulkan pundi-pundi rumahnya sesuai  dengan zamannya.”

Tiba-tiba laki-laki itu bergerak marah pelan-pelan dan  terlihat mendengar protes beberapa orang yang tak tampak terlihat di depan  beberapa rumah. Seakan-akan ia berdiri di antara kerumunan orang banyak yang menyaksikan sandiwara ini, ia berlari dan menerkam orang yang menyudutkannya. Laki-laki itu berteriak dengan kemarahannya yang sangat.

LAKI-LAKI               : “ Apa yang kamu katakan? Aku selalu mengurusi mereka dengan                                    baik, aku selalu mengajari banyak hal tentang kebaikan. Kamu bisa                                 mengatakan itu karena tak pernah mengalaminya,[ Mengarah pada beberapa arah yang di anggapnya mata orang-orang yang sedang berisik ] diam kalian.                                    Jangan banyak bicara dan kumpulkan saja tv-tvmu di depan rumah                                 kita ini, kalau tidak akan kubakar rumah-rumah ini, cepat lakukan                                 atau bangun saja dinding rumah kalian  dengan kokoh dan sederhana seperti  halnya Tuhanmu yang telah menciptakan kita. Sekarang kalian lihat berapa banyak kejahatan, berapa banyak      perempuan- perempuan telanjang di atas club dan berapa  masalah    pornografi gara-gara era media yang bebas, berapa banyak  para  tikus berdasi, berapa banyak para  produsen  media menghilangkan  ideologinya tanpa memikirkan surga dan neraka di akhir hayatnya, padahal semua ini semu belaka, lebih  banyak mana produsen yang ego pada materi dunia atau produsen  yang ideal dengan agama dan sosbudnya? ”

Laki-laki itu makin mengamuk dan tampak memukul orang yang sempat protes kepadanya, laki-laki itu terlihat  memukulnya dengan keras. Terlihat kaki laki-laki itu  menginjak leher seorang yang di marahinya.

LAKI-LAKI               : [ Menunjuk pada dirinya sendiri, pada apa yang di lakukannya ]                                “ Sok tahu kamu, lihat ini semua gara-gara peradaban modern,  cepat kumpulkan tv-tvmu sebelum kubunuh orang ini, sebelum  peradaban biadab membakar dinding rumahku.Karena memang aku mempunyai dinding yang bolong, barangkali kalian semua, hingga                                  akhirnya aku memilih menjadi orang gila karena kegilaanku mungkin                               adalah kebenaran yang paling hakiki, cepat kumpulkan!”

Tampak laki-laki itu melihat orang-orang yang berdatangan di atas panggung membawa tv, seolah-olah laki-laki itu memperhatikan langkah mereka yang membawa tv, laki-laki itu semakin bersemangat ketika seolah-olah di panggung,  tv-tv itu terkumpul dan kemudian di hancurkan dengan senang hati dan tertawa berbahak-bahak, kemudian lunglai tepat di rel kereta.

LAKI-LAKI               :  “ Jika  ada banyak orang gila, bisa jadi banyak kebenaran yang menceramahi kota, jika banyak orang gila menentang peradaban kota, bisa jadi sebuah kota menjadi benar, tapi sampai kapan peradaban baru akan terhenti yang di anggapnya benar,karena kebenaran sendiri akan lahir kebenaran berikutnya dan akan terus menerus, maka kubangun saja dinding rumah dengan ideologiku  yang paling gila, karena kita tahu tak mungkin menentang peradaban jika pertahunnya hanya lahir satu orang gila……..”

Laki-laki itu mendadak ketakutan, karena terdengar suara sirine lokomotif yang akan melewati rel kereta tersebut, sembari memberi kode ke orang-orang, dengan mengangkat telapak tangannya, menunjukkan agar jangan mendekat, wajahnya semakin ketakutan.

LAKI-LAKI               : “….sementara peradaban akan lahir tiap waktu, maka matikan                                   tvmu,maka jauhilah mediamu karena banyak orang gila yang akan datang, karena akan bermunculan  para penceramah baru tiap harinya seperti iblis yang datang tiap  waktu.”

Laki-laki itu melompat dengan cepat ke depan, tubuhnya terguling-guling di atas keriki-kerikil tajam, ia menghela nafasnya pelan-pelan. Mata laki-laki menatap alam yang di anggapnya gila dengan pelan-pelan. Lampu panggungpun padam.

Bangkalan, Mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline