Lihat ke Halaman Asli

JKN dan SDM Kesehatan

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dunia kesehatan Indonesia sudah memasuki masa baru yang sedang hangat-hangatnya yaitu masa Jaminan Sosial yang khususnya untuk kesehatan lebih dikenal dengan istilah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Penerapan JKN ini dimulai sejak 1 Januari 2014 dimana peserta awalnya terdiri dari yang sebelumnya adalah peserta PT. ASKES (PNS dan keluarga), Peserta Jamkesmas yang kemudian dikenal sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI), TNI dan POLRI serta pensiunan PNS dan TNI/POLRI yang kemudian bertambah secara bertahap melalui kepesertaan mandiri dan karyawan swasta sehingga diharapkan pada tahun 2019 seluruh warga negara Indonesia telah menjadi peserta JKN.

Setelah berjalan hampir 10 bulan, pertambahan kepesertaan JKN memang terlihat cukup signifikan tetapi peningkatan minat masyarakat ini akan menjadi sia-sia jika tidak dibarengi dengan perbaikan mutu layanan. Dan selama berjalannya JKN telah bermunculan banyak permasalahan baik dari pengelola JKN sendiri yaitu Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dari Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) baik pemberi pelayanan primer maupun rujukan (Rumah Sakit) maupun dari sisi pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Permasalahan yang timbul misalnya seperti belum tercetaknya kartu kepesertaan padahal kartu tersebut sangat dibutuhkan peserta sebagai tanda pengenal kepesertaan JKN. Permasalahan ini akan terus muncul bahkan akan semakin besar seiring dengan pertambahan jumlah peserta. Selain itu timbul juga permasalahan lainnya yaitu lambatnya pembayaran klaim layanan kesehatan ke rumah sakit – rumah sakit sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) disamping permasalahan yang telah ada sejak belum digulirkannya JKN yaitu permasalahan besaran nilai INA-CBGs yang dianggap masih terlalu kecil dan dikhawatirkan malah akan merugikan rumah sakit.

Kemudian permasalahan di tingkat pelayanan primer seperti Puskesmas juga muncul mulai dari besaran kapitasi setiap puskesmas yang tidak sama dan bagaimana pembagian dan penggunaan dana kapitasi tersebut.

Dari pemerintah sendiri, muncul permasalahan tentang regulasi yang mengatur setiap langkah dalam pelaksanaan JKN yang hingga hari inipun masih belum sempurna diselesaikan. Bahkan permasalahan regulasi ini terlihat seperti tidak direncanakan atau setidaknya tidak sesuai dengan rencana awalnya karena berkesan dibuat sambil jalan.

Jika dilihat lebih dalam lagi dari setiap permasalahan yang timbul, terdapat keterkaitan antara permasalahan pelayanan kesehatan yang muncul dengan minimnya kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Selanjutnya kondisi SDM ini tentunya dipengaruhi oleh perencanaan dan pengelolaan sumber daya manusia yang kurang tepat, mungkin bukan murni berasal dari program JKN ini tetapi sudah mengakar dari dulunya. Semisal pada permasalahan terlambatnya pembayaran klaim ke rumah sakit-rumah sakit, salah satu penyebabnya adalah kurangnya tenaga verifikator yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan. Perekrutan tenaga baru memang sudah dilakukan tetapi terbukti bahwa tenaga baru tersebut belum dapat memverifikasi klaim dalam waktu secepatnya dengan kemungkinan kesalahan seminimal mungkin. Verifikator yang baru ini juga tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena mereka masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan pekerjaannya. BPJS Kesehatan sendiri mempunyai kesalahan dalam perekrutan karena tidak mengutamakan merekrut verifikator yang sudah berpengalaman sebelumnya di program Jamkesmas bahkan terlambat dalam proses perekrutan. Seharusnya sebelum diluncurkannya program JKN, BPJS Kesehatan (PT. ASKES) sudah dapat menghitung kebutuhan tenaga verifikator dan merencanakan perekrutannya. Demikian juga dengan Pemerintah (Kemenkes)  dalam hal ini juga mempunyai kesalahan yang sama dengan BPJS Kesehatan, karena Kemenkes sebagai regulator dan “bidan” yang membantu proses lahirnya JKN seharusnya mengingatkan dan ikut serta merencanakan kebutuhan SDM ini.

Apabila kita lihat ke kondisi Puskesmas atau PPK tingkat pertama di era BPJS Kesehatan sekarang ini dimana BPJS Kesehatan menentukan besaran Kapitasi Puskesmas antara Rp. 6.000,- s/d Rp. 10.000,-, ada tidaknya seorang dokter atau dokter gigi di fasiltas kesehatan tersebut mempengaruhi besaran nilai kapitasi yang diterima oleh fasilitas kesehatan tersebut tanpa melihat kehadiran dokter atau dokter gigi tersebut atau apakah si dokter atau dokter gigi tersebut benar-benar memberikan pelayanan kesehatan. Kenapa perlu dipermasalahkan seperti itu? Karena masih banyak puskesmas yang hanya memiliki seorang dokter atau dokter gigi saja tetapi dengan keterbatasan SDM tersebut dokter atau dokter gigi itu malah dibebani dengan jabatan administrasi seperti kepala puskesmas, kepala tata usaha ataupun bendahara sehingga banyak mengurangi waktunya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Keadaan ini malah semakin diperparah dengan diterbitkannya Permenkes nomor 19 tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah dimana dengan permenkes ini tenaga kesehatan yang merangkap menjadi tenaga administrasi akan memperoleh jasa yang lebih banyak dibandingkan tenaga kesehatan lainnya yang murni memberikan pelayanan.

Seharusnya pemerintah mendorong penempatan SDM Kesehatan sesuai dengan kompetensinya, sehingga pelayanan tetap menjadi tugas pokok tenaga kesehatan dan untuk menyelesaikan tugas administrasi dilaksanakan oleh tenaga non kesehatan. Pembagian tugas seperti ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam memenuhi kekurangan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan sehingga permasalahan ketidak merataan tenaga kesehatan mulai terselesaikan.

Penetapan besaran dana kapitasi sebenarnya dapat menjadi salah satu strategi untuk mendorong pemerataan tenaga kesehatan dengan cara memberikan nilai kapitasi yang lebih untuk fasilitas kesehatan yang berada di daerah terpencil atau perbatasan sehingga dapat menjadi salah satu daya tarik untuk tenaga kesehatan bersedia di tempatkan di daerah terpencil bahkan daerah sangat terpencil. Selain itu tentunya dengan bertumpuknya tenaga kesehatan pada satu fasilitas kesehatan tertentu akan mengurangi besaran jasa pelayanan kesehatan yang diterima tetapi apabila tenaga kesehatan tersebut bersedia disebar secara rata tentunya besaran jasa yang di terima akan lebih baik.

Oleh karena itu, diharapkan pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bukan hanya untuk mencapai universal coverage dari segi kepesertaan tetapi benar-benar memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat dan membuka akses selebar-lebarnya kepada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil dan merata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline