Lihat ke Halaman Asli

Taufik AAS P

jurnalis dan pernah menulis

Cerpen | Hati dari Wawonii

Diperbarui: 6 Maret 2018   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Pemuda tampan Durubalewula memainkan seruling bambu kuning buatannya. Hembusan napas lewat bibirnya menerobos melului bilah buluh itu timbulkan bunyi lengkingan merdu. Juga saat jari-jari kekarnya bermain di atas lubang-lubang kecil, timbulkan irama menyayat hati. Luka sekeping hati dari pemuda kampung yang miskin.

"Oh Dewa, engkau tidak adil dalam ciptaanmu yang bernama cinta. Kenapa kami saling mencintai namun tidak mungkin bersatu. Engkau begitu kejam telah membuat wakil di bumi, yang menjadikan dirinya raja yang buta akan cinta. Cinta kami jauh lebih dari seluruh kekuasaan raja di bumi ini."

Durubalewula terus meniup seruling bulu kuning. Ia mulai menggugat Dewanya yang telah membiarkan dirinya mencintai Wulangkinokoti, putri cantik Raja Wawoni. Cinta yang terlarang karena darah tak setara.

Dengan napas yang tak pernah putus, terus mengalir, terhembuskan lewat buluh, Durubalewula meratapi nasibnya yang malang sebagai kawula. Wajah Wulongkinokoti tak lepas benaknya yang mulai membeku tak berarah. Butiran-butiran halus yang terlontar dari air terjun Tumburano membasahi wajahnya yang rupawan. Ia memang ingin menghabiskan waktunya di atas batu hitam diantara air mengalir Tamburano.

//

Mala itu Wulangkinokiti, putri jelita Raja Wawoni tak dapat memejamkan mata. Bolak balik ia memeluk bantal guling tak juga mampu membawa raganya tenang. Kasur empuk di bilik putri seolah papat atos yang membara. Hati wanita berkulit bersih ini sedang gundah.

Jauh di sebuah gubuk kecil di kampung dalam wilayah Kerajaan Wawoni, pemuda Durubalewula duduk menukuk lutut dengan sarung yang membalut di badannya. Ia kelihatan gerah walau udara malam mulai menusuk kulit. Diliriknya seruling bambu kuning di atas bangku-bangku kecil. Pada benda inilah yang selalu menupahkan rasanya. Tentang cintanya tak pernah padam. Pikirannya mengembara ke sebuah pohon rindang tak jauh dari istana Raja Wawoni.

"Wulangkinokiti, maafkan aku yang tak mampu mewujudkan cinta kita. Walau engkau tahu sayangku, cinta yang ada dalam dada ini jauh lebih luas dari kerajaan ayahmu. Kita bagaikan langit dan bumi, engkau adalah putri raja sedangkan aku pemuda kampung yang miskin."

Wulangkinokiti menunduk, kelopak matanya memberat, lalu butiran-butiran bening menetes pelan basahi pipinya yang putih kemerah-merahan. Rambutnya yang panjang terurai hitam dan bergelombang tergerai ditiup angin sore. Gadis istana ini terus menangis tanpa suara, ia memijit-mijit jari-jarinya sendiri. Sesekali ia menggigit bibirnya merah merekah. Hancur hati wanita ini.

Disaksikan pohon yang rindang itu, Durubalewula dekati kekasihnya tersebut, dengan jari-jari tangannya ia menyisir lembut rambut indah itu. Kedua badan muda-mudi ini semakin merapat hingga tak ada lagi selobang jarum suntikpun angin akan lewat. Matahari di ufuk barat menjadi iri, wajahnya merah merona. Sore itu, dunia hanya milik Durubalewula dan Wulangkinokiti.

Tak lepas sepengisapan rokok, Wulangkinokiti tegadahkan wajah disambut senyum lembut Durubalewula. Wanita ningrat ini tenang sejenak lupakan hatinya yang hancur lebur. Tak satu kata terucap, mata bicara dan bibir sesamanya bibir. Melayang jauh, indah, menggelora. Lalu up, gelap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline