Lihat ke Halaman Asli

Taufik AAS P

jurnalis dan pernah menulis

Cerpen | Parakang

Diperbarui: 3 Januari 2018   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pakarang (koleksi pribadi)

Usai berkumpul di kantor camat, kami para mahasiswa KKN dilepas ke desa masing-masing. Aku bersama liman teman ditempatkan pada desa paling gunung. Pokoknya disekelilingi gunung dan suasannya sunyi, namun penduduknya cukup ramah dan bersahabat.

Aku, Bonte, serta temanku Dullah dan Kadir hanyak mondok saja di rumah Kades yang namanya Pak Jumadi, yang lainnya ditempatkan di rumah warga. Kades Jumadi  ini tinggi besar, kulitnya hitam dengan kumis tebal pula. Suka merokok keretek, kopinya juga kental dan suka membawa golok kalau bepergian.

"Siapa yang koordinatornya."

"Kordes-nya Pak Desa."

Kadir perjelas pertanyaan Kades Jumadi, maksudnya Koordinator Desa. Pria kumis tebal itu mengangguk sambil mulutnya terbuka perlihatkan gigi-giginya yang kekuningan.

"Saya Pak Desa, Bonte."

Aku berdiri dan duduk lagi di kursi. Kami bertiga ditambah Kades Jumadi, memang lagi duduk-duduk usai makan malam bersama. Sementara anak dan istri Kades sudah duluan masuk bilik. Mungkin kebiasaan mereka, apalagi  belum ada listrik, hanya penerangan pelita buatan setempat.

"Karena kalian baru masuk di desa ini, ada beberapa hal yang perlu diketahui. Di Desa Temmubulu ini masyarakatnya masih kolot dan sangat percaya hal-hal gaib, juga banyak tempat-tempat dikeramatkan. Paling penting kalian tahu, di sini itu banyak Parakang."

"Apa Pak Desa."

Kadir menyoal sambil mencubitku. Dasar penakut, dikiranya aku tidak perhatikan apa yang dikatakan Kades. Kalau Dullah matanya tidak berkedip manatap Kades Jumadi.

"Ya, Parakang."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline