Tanggal 25 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional, tentu pikiran tertuju kepada organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Itulah wadah persatuan para "Omar Bakrie" yang juga sering disebut "Pahlawana Tanpa Tanda Jasa." Namun sekarang sudah dihargai jasanya oleh negara dengan gaji tambahahan yang disebut "gaji sertifikasi guru."
Kalau mengingat guru, ada banyak guru yang telah mengajar saya, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Begitu meskipun susah membayangkan wajah-wajah mereka satu persatu yang mungkin jumlahnya ratusan. Apalagi umur saya sudah menjelang tua pula. Namun mereka masih terekam dalam benak. Tetapi satu wajah guru yang tidak mungkin hilang, yaitu wajah guru mengaji saya. Sayang guru itu telah tiada pula, seperti tiadanya "Hari Guru Mengaji Nasional."
Guru mengaji saya itu namanya sangat singkat, "Duna." Kami murid-muridnya, sering menyebut "Uwa' Duna." sapaan "Uwa" dalam bahasa Bugis, untuk menyebutkan "Paman" sebagai penghormatan. Karena memang kami murid-murid mengaji telah dianggap anak ponakan oleh sang guru Duna.
Meskipun tubuhnya cacat, ia lumpuh, Guru Uwa'Duna mampu menguasai teknik mengajar ngaji ala dulu, yang mulai dari Qur'an Kecil hingga Qur'an Besar. Kami masyarakat Bugis/Makassar menyebut kumpulan Jus Amma dengan sebutan Qur'an Kecil. Sedangkan Qur'an Besar adalah Alif Lammin, Surat Al Baqarah hingga habis 30 juz. Tentu dengan cara mengajar Al Qur'an tempo doeloe. Murid-muridnya, diminta mengaji secara terus menerus berdasarkan nash-nash Al Qui'an kecil dan besar itu. Ia hanya mengawasi dengan membentulkan cara bacaan yang salah serta menegur murid yang tidak serius.
Karena Guru Duna tidak bisa berdiri, maka ia hanya duduk di atas balai-balai yang tinggi, diantara murid-murid mengajinya. Ia selalu memegang tali cambuk dari kulit kayu yang dijalin rapih. Dengan lasso itu Guru Duna menegur murida yang salah bacaan. Kalau murid sedikit nakal, lecutan lasso itu bisa mengenai punggung. Tapi itu betul-betul cambuk untuk semakin baik belajar ngajinya.
Mengajar anak-anak ngaji Al Qur'an bagi Guru Duna adalah sebuah ibadah. Ia tidak pernah meminta imbalan jasa apa-apa kepada murid. Ia hanya minta diambilkan air dari sungai yang jauh dari rumahnya. Bahkan ia sering memberikan murid-murid ngaji hasil kebunnya yang digarap orang, seperti ketela pohon, pisang, kacang tanah dan sayuran.
Ketulusan Guru Duna mengajar, belum pernah saya dapatkan dari ratusan guru-guru yang mengajar saya di bangku sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingg perguruan tinggi. Karena ia mengajar dengan nurani dan jiwa raganya secara total. Bahkan saat ia menghembuskan napasnya yang terakhir, masih banyak murid-muridnya yang belum tammat mengaji.
Selamat Hari Guru Nasional!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H