Catatan Untuk HUT Ke- 10 Kabupaten Mamuju Utara (Bagian I) Masyarakat lokal Binggi yang tersebar di batas Sulteng dan Sulbar ini menurut Kepala Desa Ngovi, Petrus Saliku, mencapai 7000 jiwa. Mayoritas dari orang-orang Binggi ini memiliki keyakinan Balai Keselamatan (BK) – salah satu aliran dalam Agama Kristen -- mendiami kaki-kaki gunung dan berbatasan langsung dengan kebun sawit milik PT. Pasangkayu. Kehidupan mereka masih sangat sederhana, berkebun ketela pohon biasa dijadikan makanan pokok utama kalau beras tidak ada, serta masih ada juga yang gemar mengunyah pinang-kapur. [caption id="attachment_247055" align="aligncenter" width="300" caption="Panggo, Tokoh Adat Masyarakat Patado di Desa Govi (dok: Jamal Semangat Pagi)"]
[/caption]
Karena berada diantara kawasan hutan lindung (HL) dan areal Hak Guna Usaha (HGU) PT. Pasangkayu, masyarakat lokal Binggi sangat rentang dituding merambah HL dan rentang pula tanah-tanah ulayat atau ocupasi mereka ditanami sawit oleh pihak perusahaan sawit. Hingga sekarang, cerita tentang tanah-tanah ulayat orang Binggi yang semula adalah rimbunan pohon sagu, kakao, pisang, kelapa dalam, jeruk, juga bangunan-bangunan seperti rumah ibadah, rumah warga, telah menjadi kebun sawit milik PT. Pasangkayu.
Atas silang sengkarut antara HGU PT. Pasangkayu dan hak-hak masyarakat lokal, Pemkab. Mamuju Utara telah membuat indentifikasi pokok-pokok permasalahan pada tahun 2004 silam berdasarkan pada Surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertahanan Nasional provinsi Sulawesi selatan Nomor : 500-629—53, tanggal 07 juni 2004. Bupati Mamuju Utara dengan Surat Nomor 593.7130IV2004 tanggal 1 juni 2004. Menyebutkan bahwa PT. PASANGKAYU dengan HGU, Luas: 9.319 Ha. Gs nomor: GSSU 311994, letak Desa Martajaya , Kec. Pasangkayu, Kab. Mamuju Utara. Dan berdasarkan hasil Identifikasi, bahwa terjadi okupasi di atas areal HGU PT.pasangkayu seluas, 1.263,50HA atas areal pada Afdeling Alfa (A) 93 Ha, Beta (B) 92,22 Ha, Fanta (F) 10 Ha, Golok (G) 838,50 Ha, Hotel (H) 229,00 Ha. Karena ada tanaman yang ada diatasnya terdiri dari, Coklat, Jeruk, Tanaman pelangi, Sagu, Pisang, Kelapa dan bagunan milik masyarakat.
Pada afdeling Golok (G) dengan luas area HGU yaitu 920 Ha, yang dapat ditanami perusahaan hanya seluas 260 Ha, hal itu disebabkan krena terdapat pemukiman penduduk berupa perkampungan dan terdapat pula rumah-rumah penduduk sebanyak kurang lebih 75 rumah dengan jumlah kurang lebih 200 KK. Dilokasi tersebut Desa Pakava /Bamba Apu ,dengan sarana antara lain, Pasar desa, Kantor desa, Sekolah 2 buah, Gereja 2 buah, Musallah 1 buah dan Puskesmas pembantu.
Pada Afdeling Hotel (H) luas area HGU 900 Ha, yang dapat ditanami oleh perusahaan hanya seluas 669 Ha, bahwa arel yang tidak dapat ditanami/dikelolah oleh perusahaan terdapat tanaman dan bangunan rumah panggung milik masyarakat dengan rincian , Coklat seluas kurang lebih 6 Ha, Pemukiman penduduk seluas kurang lebih 20 Ha, Jumlah penduduk kurang lebih 75 orang.
Penkab. Mamuju Utara juga berkesimpulan bahwa, Terdapat areal bermasalah telah pernah ada penyelesaian sekitar 500 Ha dalam bentuk ganti rugi tanaman. Tanggul yang berada di Afdeling Golok (G) tidak dapat dilanjutkan karena ada tanaman masyarakat termasuk rumah. Terhadap areal perkampungan yang berada pada desa Pakava pernah ada jalan Blok namun tidak dapat dimanfaatkan.
Meskipun telah mendapat perhatian serius dari Pemkab. Mamuju Utara, yang meminta kepada PT. Pasangkayu untuk tidak menggarap areal yang menjadi ocupasi, bangunan dan pemukiman masyarakat lokal Binggi, namun perusahaan dibawah payung Astra Agro Lestari – AAL ini tetap saja melakukan penanaman dan merensek masyarakat lokal Binggi hingga ke pinggiran gunung.
Seperti yang terjadi pada pada afdeling Hotel (H) dan Golok (G), masyarakat Patado dan Inde yang bermukim di Desa Ngovi, wilayah Sulteng mengaku kehilangan areal pohon sagu mereka di Joko Tendo, Tapa Bete, dan Kayu Rano.
“Betul, Tapa Bete dan Joko Tendo dan Kayu Rano, itu dulu adalah lokasi pohon sagu kita, kami juga dulu berkebun dan bertani di sekitarnya. Sekarang menjadi afdeling Golok (G) dan Hotel (H) dan penuh sawit milik PT. Pasangkayu,” kata Fetrus Saliku, Kades Ngovi.
Dalam keterangannya pula, Kepala Desa Ngovi, sangat menyayangkan sikap dari menajemen PT. Pasangkayu yang tidak memiliki kepedulian pada masyarakat lokal yang tinggal di seputar perkebunan sawit. Padahal akibat dari perkebunan tersebut, masyarakat terkena dampak dari perubahan ekosistem secara drastis. Flora dan fauna lokal banyak yang hilang dari sistem keseimbangan alam.
Menurut, Panggo, pemuka adat Patado dan Inde di Ngovi, bahwa alam sudah kehilangan berbagai jenis kayu lokal yang berkualitas sperti Kayu Uru dan Palapi. Begitu juga berbagai jenis hewan hutan seperti rusa, anoa, monyet dan babi, semua hilang karena habitatnya telah menjadi kebun sawit. Sungai Ngovi, Sungai Bayu dan Sungai Moi yang menjadi muara sejumlah sungai-sungai kecil juga setiap hari semakin dangkal dan mengering, berbagai jenis ikan di dalamnya mengilang seperti, gabus, ikan mas, sidat/moa.
“Dulu Sungai Ngovi , Sungai Moi dan Sungai Bayu menjadi sumber air yang utama dan tempat kami menangkap ikan. Kini sungai itu air sudah keruh, ikan-ikannya hilang,” ketus Panggo.
Selain Sungai Ngovi, Sungai Bayu dan Sungai Moi yang dulunya merupakan jalur transportasi masyarakat lokal untuk mengambil hasil-hasil hutan berupa umbi-umbian dan buah, mengalami kondisi yang memperihatinkan. Kondisi sungai-sungai ini semakin dangkal dan mengecil, bantaran kiri kanan sungai tidak terpelihara kelestariannya.
Ketidakpedulian PT. Pasangkayu atas kondisi alam dan lingkungan di wilayah HGU yang berdampak pada ekosistem di sekitarnya, sebenarnya adalah bentuk pengingkaran atas kesepakatan antara pemerintah daerah dan AAL. Karena jauh-jauh sebelum melebarkan sayapnya di wilayah Mamuju Utara -- pada tahun 1990, masih dalam wilayah Kabupaten Mamuju, Daerah TK I Sulsel – Kepala Daerah TK I Sulsel, H. Ahmad Amiruddin telah membuat rekomendasi bernomor 593.42/1350/BKPMD/1990. Isi rekomendasi tersebut menyetujui perkebunan sawit oleh Astra Group – didalamnya PT. Pasangkayu, seluas 16. 600 ha, yang berlokasi di sebelah utara Sungai Karossa, Kec. Budong-Budong, Kab. Mamuju. Dan mengingatkan untuk tidak menjaga kelesetarian 100 meter kiri-kanan bantaran sungai. Pada kemiringan 40 derajat tidak ditanami sawit dan dijaga kelestriannya.
Terkait dengan areal 16.600 ha, areal untuk sawit bagi AAL, yang di dalamnya PT. Mamuang, PT. Lettawa, PT. Pasangkayu dan PT. Surya Raya Lestari. Menurut tokoh masyarakat local Binggi, Fetrus Saliku dan Panggo dan hasil pemantuan dari NGO Tim 9 Nasional, Gusti H. Muh. Ali. Mereka mendapatkan kenyataan di lapangan bahwa lokasi perkebunan PT. AAL itu telah mencapai 37.000 ha. Inilah yang perlu dikaji ulang oleh pihak perusahaan, masyarakat lokal dan pemerintah setempat.
“Kami masyarakat lokal Patado dan Inde, tidak tahu, bagiamana caranya perusahaan sawit itu, setiap saat terus saja memperluas penanamannya. Khusus untuk PT. Pasangkayu, kami tidak tahu lagi berapa luas areal HGU-nya. Karena tidak ada tapal batas yang jelas,” kata Panggo.
Hal tersebut dibenarkan oleh Gusti H. Muh. Ali, dimana selama ini pihaknya mengumpulkan informasi dan pemantuan di lapangan untuk mengapreasiasi dan mendudukkan hak-hak masyarakat lokal akibat industri persawitan di Mamuju Utara. Menurut Gusti, pihak perusahaan, utamanya PT. Pasangkayu sangat tidak jelas dalam memberikan informasi terkait dengan HGU, juga tapal batasnya.
“Ya, kalau kita masyarakat mau mengetahui, luas HGU dan tapal batasnya, itu susah. Yang biasa diberikan adalah peta kerja dimana mereka melakukan penanaman. Khusus PT. Pasangkayu, memang ada beberapa kerancuan, misalnya ketika mulai menanam di kawasan hutan lindung di Dusun Kabuyu, Kel. Pasangkayu. Karena ketahuan, perusahaan menebang sawitnya sekitar 200 ha. Itu bukti kalau perusahaan tidak memiliki batas yang jelas. Bahkan kami mensiyalir, masih ada sekitar 1000 ha. Lagi sawit milik perusahaan yang berada dalam lokasi Hutan Lindung (HL) dan ini perlu menjadi perhatian kita semua,” papar Gusti.
Terkait dengan sinyalemen adanya HL yang dirambah oleh PT. Pasangkayu, di sekitar Dusun Kabuyut, Kepala Dinas Kehutanan Mamuju Utara, Dra. Nurhayati Tangim mengatakan kalau pihaknya akan meneliti lebih lanjut, dan kemungkinan itu bisa saja terjadi.
“Dan kalau itu terbukti, ya pelanggaran. Kemudian yang menjadi kendala kami juga, pihak perusahaan tidak pernah terbuka soal bata-batas HGU-nya. Seharusnya, ketika melakukan penanaman koordinasi dengan kami, terutama yang berbatasan dengan kawasan HL,” kata Nurhayati.
Akibat kuran pedulinya terhadap hak-hak masyarakat local Binggi dan kecenderungan mengabaikan kondisi alam serta terindikasi merambah hutan lindung. Pihak PT. Pasangkayu yang coba dikonfirmasi oleh LSM dan Wartawan, tidak juga bersedia. Menunjukkan kalau perusahaan ini menutup diri dan itu tidak boleh terjadi, bagi pihak manajemen dari sebuah perusahaan profesional dan ternama.
Artikel ini didedikasikan kepada masyarakat Lokal Bunggu di Desa Pakava/Bamba Apu dan Ngovi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H