Lihat ke Halaman Asli

Laura

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LAURA

Perjalanan menuju Kota Suci Mekkah merupakan pengalaman tak terlupakan buat seorang Laura. Tiket menunaikan ibadah haji itu dalam genggaman. Dua hari sebelumkeberangkatan, ayah baru menyuruhnya bersiap. Kaget? Tentu saja.

Laura mendarat di Bandara Jeddah. Hanya transit sebentar kemudian lanjut menuju Madinah Al Munawwarah dengan mobil. Saat pertama melaksanakan shalat di dalam Masjid Nabawi, Laura bersimpuh memuji kebesaran Tuhan. Tak percaya akan keberadaan dirinya di tempat seagung itu. Laura sangat mengagumi arsitektur bangunan masjid, keindahan dan rasa damai di tengah lautan manusia.

Ingatan akan Tanah Suci Mekkah kembali membuat kerinduan menguar. Kota indah dengan jalan mulus bagai tak berujung, tempat dimana Masjidil Haram yang diagungkan seluruh umat Islam berada. Di tengahnya berdiri Kabah, bangunan suciberselimut kain hitam bertuliskan lafal Al-Quran. Keren deh, pokoknya. Saat pertama kali melihatnya, Laura meneteskan air mata.Dia sering tertegun saat meraba kain hitam beludru penutup Kabah lalu menciumi tangan sendiri dan terheran. Harumnya lekat.

“Mujizat.” Annabella, adik perempuan Laura terkagum-kagum.

“Pakai pengharum cucian kualitas terbaik barangkali?” Jawab Laura asal saja.

Mereka tertawa dan berjalan mengitari Kabah, memegang serta menciumi Hajar Aswad, sebuah batu hitam menakjubkan di sudut bangunan lalu memasuki Hijir Ismail, bagian sisi lain Kabah yang diyakini sebagai tempat paling makbul untuk memanjatkan doa. Laura merasa beruntung, lebih awal berada di Kota Mekkah sehingga bisa dengan leluasa mengagumi Masjidil Haram dengan segala isinya saat jamaah lain dari semua belahan dunia belum tiba. Laura menyiapkan beberapa kitab suci Al-Quran, menuliskan nama serta menggoreskan tanda tangan di dalamnya lalu menyimpannya di rak baca, berharap akan ada gunanya bagi orang lain dan berdoa agar Laura dipanggil untuk kembali lagi. Aneh? Tak apa. Kadang prilaku abnormal juga indah.

Saat berada di Kota Mekkah, Laura menghabiskan hampir seluruh waktu di Masjidil Haram. Siang dan malam tidak ada waktu shalatterlewatkan. Selain menyukai suasananya, bapak bos sangat ketat mengawasi mereka. Mana boleh shalat lima waktudilakukan di hotel. Tak heran kaki jadi lecet berjalan kaki bolak-balik, meskipun telah memakai kets atau sandal jepit yang nyaman dan seribu pesan dititipkan untuk tidak naik taksi. Dengan riang Laura bersama adiknya melintasi terowongan dibilangan Asisyiah yang merupakan ritual hariannya,melewati pertokoan berhiaskan aneka macam buah, permen dan makanan ringan.

Laura sangat menikmati empat hari pertama di Masjidil Haram. Suasana belum ramai dan bisa nongkrong di mana saja dalam bangunan yang sangat luas. Seringkali Laura menghabiskan waktu untuk berbincang dengan orang-orang dari berbagai bangsa serta berbagi makanan kecil dengan mereka. Laura diberi manisan kecil berwarna merah, entah apa namanya. Rasanya aneh tapi Laura tetap memakannya di depan mereka meskipun harus tersedak. Pernah juga seharian bersama gerombolan gadis India yang cantik dan saat bertukar alamat, mereka menuliskannya dalam bahasa mereka. Bagaimana Laura bisa membacanya?

Sesekali, Laura beredar di pusat perbelanjaan. Hanya ingin tahu saja bagaimana bentuk etalase mal di Jazirah Arab. Dibelinya satu set peralatan kosmetik nuansa biru dalam kotak cantik yang memiliki nomor rahasia. Saat Laura memakai pemulas bibir barunya, ayah mengamatinya.

“Ada apa dengan mulutnya?”Beliau mengira telah ditinju seseorang.

“Tidak apa-apa, kesalahan tekhnis saja.” Laura memalingkan muka.

Ah, ayah kurang gaul, tidak mengerti. Cantik begini dikira luka memar? Laura tidak lagi memakainya saat bersama ayah. Takut beliau mengulang kekagetan yang sama.

Biasanya sambil menunggu waktu Ashar tiba,Laura bersama adiknya berjalan keluar dari Masjidil Haram membeli kebab dan minuman dingin kemudianmemakannya sambil berjalan. Disempatkannya membeli puluhan buku, diantaranya The Qur’an Basic Teaching karya Thomas Ballantine Irving dan sebuah kitab manis bersampul cokelat dengan judulLet Us Be Muslimskarangan Khurram Murad. Bertahun-tahun kemudian kedua buku tersebut tetap menjadi buku kesayangannya.

Banyak pengalaman hebat tak terlupakan saat berada di Tanah Suci Mekkah. Saat Lebaran Idul Adha tiba di mana manusia tumpah ruah di Padang Arafah, Laura kembali ke Masjidil Haram. Mobil tidak dapat lagi bergerak karena padatnya manusia. Bersama adiknya, Laura memutuskan untuk turun dan berjalan kaki bersama jutaan jamaah lainnya. Tak tahu pasti jarak tempuh, jelasnya kaki sampai pegal tetapi akhirnya Laura shalat Id di depan Kabah yang juga telah sesak. Selesai ritual indahnya, Laura balik ke hotel dan duduk berlama-lama di lobby. Letih dan capek. Untungnya, telah disiapkan makanan super nikmat berhiaslilin merahberkedip indah. Teh disajikan dalam gelas kecil yang cantik. Khas Arabian.

Satu lagi pengalaman tak terlupakan, saat menyaksikan dari jarak sangat dekat seorang ibu terlepas dari pegangan suaminya dan jatuh terinjak di halaman Masjidil Haram. Ambulans datang terlambat, Ia telah berpulang. Saat mayatnya diangkat kemudian dibaringkan, Laura yang berada di bagian belakang dengan jelas menyaksikan bagaimana sang suami melompat ke sisi jenazah, menarik kedua lengan dan berteriak histeris memanggil nama istrinya. Sampai mobil itu menghilang dari kerumunan, Laura masih terpaku di tempatnya berdiri. Berpikir betapa hidup dan mati hanya berjarak sepersekian detik.

Karena setiap hari menghabiskan waktu di Masjidil Haram, Laura dapat menghitung berapa banyak jenazah ditandu melintasi kepala setiap hari. Padahal sebelumnya, Laura sangat takut dengan jazad orangmeninggal tapi akhirnya terbiasa membersihkan darah dari hidung sang mayat tanpa rasa takut sedikitpun. Shalat jenazah diikuti Laura dengan penuh perasaan. Hidup ternyata tidak bisa diprediksi. Laura menyukai dudukberlama-lama di bawah pilar hijau merenungi dan menyaksikan kematian. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja tanpa permisi.

Menghabiskan waktu lebih sebulan di Makkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawarah, kesedihan mendekap saat akan kembali ke tanah air. Laura memanjatkan doa perpisahan untuk kedua kota suci itu. Berjam-jam Laura terpekur di depan Multazam. Malam terakhir di Mekkah, Laura hingga dini hari di Masjidil Haram, menunggu situasi agak sepi untuk dapat kembali menciumi Kabah dan mengucapkan selamat tinggal. Laura berlari ke rak penyimpanan, memegangi Al-Quran dan membisikkan pada semuanya agar memanggilnya datang kembali. Berdua dengan adik perempuannya, Laura melambaikan tangan pada Kabah, penuh air mata kemudian berjalan mundur menjauhi Masjidil Haram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline