Pendidikan adalah sebuah sistem yang harus ada di negara mana pun, hanya dengan pendidikan negara bisa menjalankan pemerintahan, hanya dengan pendidikan seorang pemimpin bisa memimpin rakyatnya, hanya dengan pendidikan negara bisa maju. Pendidikan salah satu sarana untuk membentuk masyarakat bermental maju yang menginginkan perubahan, dan jika masyarakatnya memiliki mental seperti itu maka negara akan maju. karena, menurut Plato negara itu baik jika masyarakatnya baik dan jika masyakaratnya baik maka negara pun baik, jadi negara adalah cerminan dari masyarakat sebagai warganya.
Plato juga berpandangan bahwasanya pemimpin negara itu harus dari kalangan cendekiawan (aristokras) artinya pemimpin tersebut harus orang yang tahu bagaimana menciptakan kebajikan, kebijakan dan keadilan di negeri tersebut, nah untuk menjadi seorang cendekiawan dibutuhkan pendidikan, jadi pendidikan bisa dianalogikan sebagai pusat syaraf negara karena dapat mengontrol seluruh aktivitas dinamika masyarakat.
Tapi, di indonesia pendidikan seolah dinomorduakan dengan menilik data dari World Population Review 2023 kita bisa berpacuan bahwasanya indonesia disabilitas keintelektualan, rata-rata skor IQ orang Indonesia adalah sebesar 78.49. Angka tersebut merupakan yang paling rendah di antara negara di Asia Tenggara lainnya, kecuali Timor Leste yang memiliki skor yang sama dengan Indonesia dan angka tersebut masih sama dengan tahun lalu yang artinya memang tidak ada sebuah progres dalam pendidikan kita. Apa yang salah?... Sistem pendidikan kitanya? pengajarnya? Atau siswanya?. Mari kita bahas
Pertama, kita terlebih dahulu berbicara tentang sistem pendidikan indonesia, sistem pendidikan di indonesia yang saya rasakan selama menjadi pelajar SLTA sampai menjadi mahasiswa sekarang itu sangat membingungkan bagi kita sebagai pelajarnya, terutama kebijakan-kebijakan tentang pergantian kurikulum yang merubah-rubah gaya belajar tapi hasilnya tidak ada, dan sistem zonasi yang saya rasa kurang efektif karena bersifat seolah mengekang kebebasan berekspresi belajar bagi pelajarnya.
Kedua, guru/dosen, kita tidak bisa selalu menyalahkan sistem tapi kita juga harus kritisi tentang gaya mengajar guru/dosen, bukan merendahkan guru/dosen tapi kita cari alternatif jawaban bersama-sama demi kepentingan bersama. Saya merasakan sebagai pelajar 15 tahun, dan saya belum pernah melihat guru/dosen yang benar-benar totalitas dalam mengajar, hanya datang untuk keformalan belaka mengisi daftar hadir, masuk, menyuruh nulis setelah itu memberi tugas. Jarang ada guru/dosen yang mau menjelaskan dengan detail, jikalau ada pun sangat sedikit jumlahnya.
Guru/dosen dalam mengajarnya cenderung monoton tidak bisa memancing rasa "Curiosity" siswanya dengan baik. Jadi pikiran siswanya terkekang terlampau fokus dengan pelajaran, guru itu seharusnya melakukan ice breaking untuk menetralkan pikiran atau juga dapat menanamkan plot wist-plot wist dalam setiap pembahasan yang bisa sedikit meredakan ketegangan pikiran siswanya, jadi siswa lebih enjoy dan pikiran kritisnya dapat keluar.
Tapi kita mengkritisi fenomena-fenomena hampir semua kalangan masyarakat menjadikan guru sebagai profesi untuk berkarir karena dirasa profesi guru itu sangat nyaman dan aman dibanding profesi yang lainnya, apalagi setelah jadi PNS itu rata-rata niat mengajarkan ilmunya memudar yang ada memikirkan masa depannya sendiri. Jadi kebanyakannya orang yang menjadi guru itu orang yang ingin masuk ke dalam zona nyaman, di indonesia guru dijadikan sebuah profesi untuk mencari penghasilan bukan pure/murni ingin mencerdaskan.
Ketiga, siswa/pelajarnya. Masalah pendidikan di indonesia tidak selalu menyalahkan sistem/pengajarnya, dari kita sebagai pelajarnya juga harus introspeksi. Pelajar di indonesia cenderung memiliki mental buruh yaitu pikirannya setelah lulus hanya kerja tidak mementingkan ilmu apa yang sudah didapat selama ini dalam pendidikan tersebut, generasi indonesia hanya mementingkan ijazah sebagai salah satu syarat masuk kerja, jadi pemikiran buruh itu hanya berpikir "kerja" bukan "membuka lapangan kerja".
"Kita tidak menyalahkan pihak mana pun tapi kita berusaha membenahi kekurangan yang ada, menutupi lubang-lubang pendidikan kita bersama"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H