“Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas ditengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.” (Anis Mata dalam Pesona Jiwa Raga)Tidak dipungkiri, bahwa spiritualitas dan fisik memfaktori hidupnya cinta manusia. Tersebutlah sebagai orang yang beruntung jika ia menemukan kepuasan dari kedua aspek itu. Namun saat ini kita tidak sedang ingin membincangkannya. Kita ingin melihat masalah, kemudian kita pecahkan. Berkebalikan dari orang yang beruntung, orang yang tidak berjodoh dengan pasangannya, tidak akan menyatu, bagaikan minyak dengan air. Tidak bertemu kecocokan, meski dalam satu tempat sekalipun. Walau ia terpesona dengan indahnya jiwa dan fisik pasangannya sekalipun. Berkebalikan orang yang yang beruntung, orang yang mengunggulkan aspek fisik dan mengabaikan spiritual, sering berwujud perceraian, itu bisa terjadi saat pesona fisik memudar. Bukan tidak boleh kita mendambakan fisik yang indah. Karena fitrah manusia demkianlah mencintai keindahan. Tapi cinta yang tumbuh karena sebab-sebab tertentu akan cepat lenyap dengan lenyapnya sebab. Ada seorang suami, -menurut pandangan kita- fisik istrinya kurang dari indah. Tapi suaminya sangat mencintainya, mengapa bisa demikian? Ya, defenisi cantik dan indah sering berbeda menurut kita. Jelek menurut kita, belum tentu menurut orang lain. Tapi keindahan spritual? Nyaris kita tidak pernah berselisih jika alat ukur kita sama, Al Quran dan sunnah. Saya tidak kuat mendefenisikan ini, tapi setidaknya saya boleh tuturkan fenomena; bahwa cinta adalah perkara jiwa bukan perkara fisik. Seperti bayi yang begitu melekat pada ibunya, ia bisa membedakan suara ibunya dengan suara selain ibunya, bagaimana bisa bayi mengenal itu semua? Padahal sang ibu tidak mengungkapkan banyak bahasa. Hanya dekapan, pelukan, belaian, tanpa bahasa, tanpa kata. Tapi hubungan ibu dan anaknya melekat erat. Cinta itu, sesuatu abstrak tapi nyata tanda dan buktinya. Khas sentuhan jiwa. Demikianlah cinta, hendaknya dibangun karena jiwa bukan karena fisik (baca: libido). Cinta tidak bisa disandarkan pada kayu yang rapuh, tapi cinta disandarkan pada yang abadi. Cinta karena .... cinta karena ...., isilah titik-titik berikut itu dengan kata Allah. Dia Maha Abadi, tempat bersandar yang tidak tertandingi kekuatan dan keabadiannya. Namun, cinta karena Allah taala tidak serta merta keluar dari lisan yang dibunyikan oleh sembarang orang; sebab lisan manusia sangat mampu untuk meniru ragam ucapan. Berbeda dengan hati, hati sangat asli dalam bahasa dan ungkapan. Cinta karena Allah taala yang dimaksud adalah cinta dibunyikan dari jiwa yang Rabbani. Karena jiwa yang baik akan suka pada jiwa yang baik, jika ingin beruntung maka langkah tepatnya adalah pantaskanlah diri untuk menerima anugerah Allah taala, yang Dia alamatkan kepadamu berupa; belahan jiwa yang baik. Pada akhirnya, fitrah manusia mencintai fisik memang ada kadarnya. Islam mengajarkan nazhor bagi laki-laki kepada calonnya untuk memberi hak bagi hasrat manusia dalam mencinta. Bagaimanapun, yang terbaik dari cocok dan tidak cocok itu harus lahir dari jiwa yang jernih, jiwa yang Rabbani, bersih dari instruksi hawa nafsu. Achmad Tito Rusady
Malang, 01 Oktober 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI