Dalam sepuluh tahun terakhir di Provinsi Jawa Timur tepatnya di Mojokerto sudah mulai adanya perkembangan zaman. Mulai dari infrastruktur yang perlahan berkembang di Mojokerto meningkatkan mobilitas, meningkatkan perekonomian, dan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk di Mojokerto. Tata kota di Mojokerto telah mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Namun seiring dengan berkembangnya Mojokerto pasti terdapat efek dari perkembangan tersebut. Pada pembangunan infrastruktur di Mojokerto memiliki perkembangan yang pesat. Dengan adanya Sunrise Mall yang terletak di pusat kota Mojokerto tepatnya di Jalan Benteng Pancasila menjadi tempat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.
Namun Sunrise Mall dibangun tepat bersebelahan dengan ruko para UMKM lokal Mojokerto. Rata-rata penduduk di Mojokerto lebih memilih berbelanja di Sunrise Mall karena tempatnya yang lebih nyaman meskipun harganya jauh lebih mahal daripada di ruko para UMKM lokal Mojokerto. Seiring dengan kurangnya minat masyarakat Mojokerto memilih untuk berbelanja di ruko para UMKM lokal, membuat mereka berpikir kembali bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Tidak hanya itu, di kawasan Jalan Benteng Pancasila yang dulunya adalah persawahan lambat laun mulai berkurangan karena banyaknya pembangunan insfrastruktur berdampak pada petani daerah tersebut. Lahan yang semakin berkurang membuat menurunnya produktivitas mereka.
Selain itu, dahulu Mojokerto yang merupakan bekas peninggalan Kerajaan Majapahit. Tidak heran di Kecamatan Trowulan menjadi objek wisata dan mata pencaharian penduduk disana pada sektor pariwisata. Menurut kutipan detik.com, Candi Tikus sempat terkubur dalam tanah. Lalu ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian dilakukan berdasarkan laporan Bupati Kabupaten Mojokerto R.A.A. Kromojo Adinegoro tentang ditemukannya miniatur candi di tempat pemakamam umum rakyat. Upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya yang rusak sesuai keaslian bahan, benda, dan teknik pengerjaan untuk memperpanjang usia Bangunan Cagar Budaya atau sering disebut dengan Pemugaran.
Pemuguran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984-1985. Candi Tikus merupakan peninggalan arkeologi pada masa Kerajaan Majapahit, dinamakan Candi Tikus karena dahulu pada saat di temukan tempat tersebut menjadi sarang tikus. Dilihat dari bentuk Candi Tikus adanya kolam disekitar Candi. Sehingga mengundang perdebatan para pakar dan arkeolog tentang fungsi dari kolam disekitar Candi tersebut. Sebagian pakar berpendapat bangunan candi untuk tempat penyaluran dan penampungan air untuk kebutuhan masyarakat Trowulan dahulu. Tiket untuk masuk ke Candi Tikus relatif murah, untuk anak-anak ditarik Rp 3.000 dan untuk yang dewasa Rp 4.000.
Tidak jauh dari kawasan candi tikus terdapat arkeologi peninggalan Kerajaan Majapahit yaitu Gapura Bajang Ratu. Menurut Pemerintah Pariwisata Kabupaten Mojokerto, Gapura Bajung Ratu atau yang sering dikenalan dengan Candi Bajang Ratu pada adalah sebuah gapura atau candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Dibangunnya Candi Bajang Ratu untuk menghormati Jayanegara. Penamaan Bajung Ratu karena pada saat Jayanegara dinobatkan sebagai raja pada saat usianya yang terbilang masih muda (“bajang” / “bujang”) sehingga gapura tersebut diberi nama Bajang Ratu (“Raja Cilik”). Berdasarkan cerita legenda di Trowulan, penamaan Bajang Ratu ketika Raja Jayanegara masih kecil terjatuh di gapura dan mengalami cacat pada tubuhnya, sehingga diberi nama “Bajang Ratu” (“Raja Cacat”).
Namun seiring dengan perkembangan zaman sekarang minat berwisata ke tempat bernilai sejarah sudah mulai berkurang dari tahun ke tahun. Padahal berkunjung ke tempat wisata yang memiliki nilai sejarah yang tinggi dapat menambah wawasan tentang peninggalan pada zaman dahulu. Di Trowulan tepatnya di tempat wisata Candi Tikus dan Candi Bajang Ratu mengalami penurunan wisatawan dari tahun ke tahun. Meskipun tiket masuk di Candi Tikus dan Candi Bajang Ratu yang relatif murah namun kurangnya minat dari wisatawan untuk berkunjung ke tempat peninggalan Kerajaan Majapahit menjadi masalah ekonomi bagi penduduk di Trowulan.
Penurunan wisatawan sangat berdampak pada ekonomi penduduk di Trowulan yang kebanyakan mata pencahariannya mengandalkan pada sektor pariwisata seperti pengrajin patung atau cinderamata. Dengan sepinya wisatawan para pengrajin di Trowulan harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan mencari pekerjaan lain, Karena dengan hanya menjadi pengrajin patung atau cenderamata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.
Seiring dengan berkembangnya zaman, Banyaknya pembangunan infrastruktur membuat perubahan iklim yang berdampak pada hasil panen petani yang ada di Mojokerto. Menurut kutipan radarmojokerto, Cuaca ekstrem saat ini membuat para petani di Kecamatan Sooko keluhkan gagalnya daun padi mekar dengan sempurna. Dengan hasil panen yang tidak maksimal para petani di Kecamatan Sooko mengalami kerugian yang cukup besar. Tidak hanya pada saja, Petani jagung mengeluhkan hal yang sama karena terlalu banyaknya air pada akar jagung yang berakibat gagal panen karena cuaca ekstrem. Petani di Kecamatan Sooko itu mengalami kerugian yang cukup besar yaitu Rp 2 juta.
Kebanyakan para petani di Mojokerto tidak memilki lahan persawahan sendiri karena lahan yang cukup sedikit, Para petani di Kecamatan Sooko memilih untuk menyewa lahan orang lain untuk bertani. Hal itu yang membuat para petani di Kecamatan Sooko mengalami kerugian yang cukup besar karena kegagalan hasil panen akibat cuaca ekstrem dan harus membayar biaya sewa lahan. Ketersediaan pupuk merupakan kendala lain yang dialami petani di Kecamatan Sooko. Mahalnya harga pupuk sekarang menambah masalah yang dialami petani di Kecamatan Sooko. Cuaca ekstrem menjadi masalah utama gagalnya hasil panen para petani di Kecamatan Sooko.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H