Lihat ke Halaman Asli

Memerangi Otak Irasional Siswa

Diperbarui: 27 September 2018   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada apa dengan transisi masa SMP dan SMA?

Masa SMA yang memiliki rentan usia 15-18 tahun bisa dikatakan merupakan masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa atau yang lebih sering kita kenal dengan istilah masa remaja. Masa remaja merupakan suatu tahap transisi menuju ke status yang lebih tinggi yaitu status sebagai orang dewasa. Berdasarkan teori perkembangan, masa remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Perasaan yang masih labil pada remaja dapat menimbulkan rasa ketergantungan terhadap orang lain karena rasa ketidak mampuan yang mereka miliki. Sifat ketergantungan yang diiringi dengan kebimbangan tersebut dapat membahayakan diri remaja itu sendiri, disaat mereka membutuhkan sesuatu untuk bergantung namun mereka sendiri masih mengalami kebimbangan dalam perasaannya kemungkinan besar dapat membuat mereka terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif. Masa-masa ini dapat dikatakan sebagai masa badai bagi seseorang, dimana akan terjadi perombakan besar terhadap hidupnya, sehingga dalam fase ini benar-benar dibutuhkan peran orang tua, peran guru, peran lingkungan, dan peran teman-teman sebayanya untuk membawa dia ke ranah positif dari kehidupan.

Saat proses peralihan remaja menuju dewasa tak jarang kita jumpai beberapa hal remeh dan sepele yang berdampak sangat dominan sehingga dapat mempengaruhi pola pikir mereka. Salah satu bentuk perubahan itu bercikal bakal dari otak pemikirannya. Dan itu tidak terlepas dengan lingkungan sekitarnya. Mereka dapat berkembang ke arah yang lebih baik atau bahkan sebaliknya, bergantung pada apa yang ia terima dari berbagai pihak, baik berupa doktrin atau penerapan pribadi.

Namun di satu sisi, masa transisi dapat memberikan banyak keuntungan kepada mereka, yaitu suatu masa yang lebih panjang untuk mengembangkan berbagai keterampilan serta mempersiapkan masa depannya. Mereka yang sadar betul akan pentingnya tahap ini akan lebih berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan, dengan sikap awasnya tersebut menjadikannya sebagai sosok yang memiliki rasa kemandirian. Kemandirian dalam menentukan jalan hidupnya, menentukan mana yang terbaik bagi masa depannya kelak.

Realita berkata lain, banyak dari siswa yang menjalani masa transisi memiliki banyak masalah, utamanya berkenaan dengan sekolah dan lingkungannya. Sehingga bukan semakin berkembang, akan tetapi macet di tengah jalan dalam porsesnya. Mengapa hal demikian terjadi? Kita kembali pada pembahasan isi otaknya. Apa yang telah mencemari pemikirannya? Satu hal yang sepele yang harus ditindak lanjuti. Semua ini harus ditangani oleh ahlinya, atau yang dikenal dengan guru BK.

Setiap individu siswa memiliki pemikiran yang rasional serta irasional. Semua itu pasti terdapat dalam otak siswa. Mirisnya, pemikiran irasional yang terkadang dan bahkan mayoritas sudah mencemari otak mereka. Dengan berdampak pada segala bentuk proses yang ia lakukan di sekolah akan menurun, kacau, amburadul dan lain sebagainya. Contohnya; siswa SMP yang akan melanjutkan pada jenjang berikutnya (SMA) barang tentu akan memilih sekolah favorit atau terbilang modern daripada sekolah yang klasik atau jadul. Mereka mengabaikan latar belakang ekonomi keluarganya yang menengah kebawah. Apalah daya sebagai orang tua yang memiliki prinsip dasar "ingin membahagiakan sang buah hati", walaupun dengan cara banting tulang.

Setibanya di bangku SMA dengan kelas sekolah favorit dan mayoritas teman-temannya berangkat dari keluarga yang mumpuni atau bahkan kaya. Tak kepalang ia pasti terbebani sisi bathinnya. Rasa malu, tidak pantas dan lain-lain karena membandingkan dengan teman-temannya. Ia memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara nerusak diri yang diperolehnya. Bahkan sampai menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaan serta mengisolir dirinya sendiri.

Bentuk-bentuk pikiran irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pikiran irasional yang melatar belakangi ketakutan atau kecemasannya, yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling, konselor lebih bernuansa otoritatif dengan cara memanggil yang bersangkutan, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional/logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar. Selanjutnya membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar, memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertif training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline