"The illusion of freedom will continue as long as it is profitable to continue the illusion."
--- Frank Zappa
Reformasi 1998 menjadi titik balik yang krusial dalam sejarah politik Indonesia, hadir sebagai respons terhadap otoritarianisme Orde Baru. Era tersebut membawa janji besar akan demokrasi yang lebih inklusif, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Namun dewasa ini, asa serta harapan reformasi kian memudar tergerus oleh realitas politik yang ironis. Alih-alih menjadi fondasi bagi demokrasi yang kokoh, Reformasi justru terjebak dalam retorika kosong dan praktik politik yang kian menjauh dari esensi demokrasi itu sendiri.
Reformasi yang sejatinya diharapkan membawa perubahan fundamental, pada kenyataannya banyak menghasilkan mimpi semu. Agenda pemberantasan korupsi, penguatan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia yang menjadi cita-cita Reformasi kini semakin terkikis oleh praktik oligarki dan politik dinasti. Keberadaan lembaga-lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang awalnya kuat, kini semakin dilemahkan oleh intervensi politik yang sistematis.
Kemudian, keberadaan lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan di tengah masyarakat, kini semakin kehilangan legitimasinya. Praktik culas serta pelanggaran etik yang semakin vulgar ditampilkan oleh oknum-oknum di dalamnya, membuat publik kian skeptis terhadap integritas dan independensi lembaga peradilan. Berbagai kasus suap yang melibatkan hakim, serta konflik kepentingan yang mengiringi proses pengambilan keputusan, memperburuk citra peradilan sebagai institusi yang adil dan tak berpihak.
Tidak hanya itu, kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, yang menjadi salah satu tonggak utama Reformasi, juga menghadapi tekanan yang luar biasa. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, dan akademisi yang kritis terhadap pemerintah menjadi bukti nyata bahwa kebebasan demokrasi sedang terkikis. Mimpi akan Indonesia yang demokratis dan terbuka kini seakan semakin jauh dari kenyataan.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah: Quo vadis demokrasi Indonesia? Ke mana arah demokrasi kita saat ini?
Dalam situasi di mana oligarki politik semakin menguat dan ruang kebebasan sipil semakin menyempit, kita menghadapi ancaman serius terhadap keberlanjutan demokrasi. Hal tersebut diperkuat dengan perilaku "otokrat legalistik" yang menggunakan hukum untuk mencapai tujuannya.
Mereka yang memegang instrumen hukum bukan menggunakannya sebagai alat keadilan, tetapi sebagai sarana untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka memanfaatkan celah-celah hukum, menata ulang peraturan, dan membentuk institusi-institusi yang seharusnya independen menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.
Dengan demikian, hukum yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang dan pelindung hak-hak rakyat justru berubah menjadi alat represi yang menekan kebebasan sipil dan meminggirkan oposisi. Fenomena tersebut dapat disebut sebagai "autocratic legalism", di mana hukum diinterpretasikan dan diterapkan sedemikian rupa untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang secara esensial antidemokratis.