Lihat ke Halaman Asli

Potret Hidup Para Pemulung di Stasiun Senen, Jakarta Pusat

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13336084811909414443

Ada rasa bangga mendengar nama "Jakarta". Ibu kota negara, tempat bertugas para menteri dan presiden, tempat bekerja dari para wakil rakyat, tempat tinggal orang-orang kaya di Indonesia, tempat beredarnya sebagian besar uang di negeri ini. Di balik deretan sebutan itu, ternyata Jakarta memiliki potret yang menyeramkan. Apakah itu?

Jakarta menjadi tempat tinggal orang terkaya dan termiskin di Indonesia. Untuk sebutan terkaya, bukan hal baru dan aneh lagi. Orang kaya memang pada umumnya memilih tempat tinggal yang nyaman. Salah satunya adalah Jakarta.

Sebutan termiskin kiranya tidak salah dialamatkan kepada para pemulung dan pengemis di negeri ini. Lihat saja beberapa foto hasil jepretan teman saya beberapa waktu lalu. Ini hanya beberapa potret yang kiranya mewakili penderitaan di negeri ini.

13336085851047942376

Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala kadarnya yang kadang-kadang, dalam waktu tak terduga digusur oleh petugas pol PP.

Tempat ini dipilih demi efektivitas bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah pencari rezeki di gerbong kereta. Kereta yang datang dari daerah Jawa Tengah seperti Solo, juga Yogyakarta, dan Malang, Jawa Timur menjadi target pemulung. Di kereta-kereta ini, mereka biasanya memungut botol mimunan ringan seperti aqua, mizon, dan sebagainya. Botol-botol ini dijual lagi untuk memperoleh uang.

Selain botol, mereka juga biasanya memungut koran bekas dan gardus yang digunakan sebagai alas tidur di kereta. Gardus bekas dijual dengan harga mulai Rp. 5000 per kilo gram. Sedangkan koran bekas biasanya dilipat lagi dengan rapi dan kemudian dijual dengan harga sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000 untuk dijadikan kipas angin. Selain itu, kadang-kadang mereka mengambil makanan dan minuman sisa untuk sarapan. Kereta biasanya datang mulai pukul 2 sampai 5/6 pagi.

1333608651621919645

Penulis pernah tinggal dengan mereka pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak melihat pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau merasakan kehidupan mereka secara langsung mesti tinggal dengan mereka.

Waktu 2 minggu menjadi waktu yang menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit, kami mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis bersama beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior. Praktisnya, kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun  pagi-pagi, mulung, mandi, sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV, tidur lagi pada malam harinya.

Kelihatannya hidup kami (saya dan para pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, dalam penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin relasi antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki, yang lainnya kekurangan, kami biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu. Solidaritas inilah yang mengenang dalam benak saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline