Kericuhan di pulau rempang, kota Batam, Kepulauan Riau antara penduduk lokal dan aparat penegak hukum pecah di jembatan IV Barelang pada kamis (7/8/2023) siang.
sebelum pecahnya kericuhan, warga rempang dan aparat telah terlibat cekcok mengenai pemasangan patok untuk pembebasan lahan yang akan di jalankan oleh BP Batam untuk membantu investor asing membangun lahan bisnis di pulau rempang, namun pada akhirnya kericuhan tak dapat terhindarkan akibat aparat gabungan yang menembakan gas air mata dan menangkap beberapa warga rempang yang pada saat itu melakukan aksi demonstrasi untuk menghentikan upaya pembebasan lahan tersebut.
Menurut informasi yang beredar pemicu terjadinya kericuhan warga pulau rempang dan apparat di jembatan IV Balerang tersebut karena adanya tindakan pengamanan yang di lakukan oleh apparat gabuungan TNI-Polri yang terlalu arogan hingga kondisi menjadi tidak kondusif. Bahkan akibat dari kericuhan tersebut di kabarkan telah menimbulkan korban mulai dari luka-luka hingga trauma, dan mirisnya lagi akibat tindakan pengamanan aparat yang semena-mena tersebut berdampak juga kepada siswa yang pada saat itu Tengah menjalankan aktivitas pendidikannya.
"terdapat belasan siswa yang saya ketahui telah di larikan ke Rumah sakit untuk mendapatkan perawatan akibat terkena gas air mata yang terseret angin, karena lokasi pemebakan gas air mata kebetulan dekat dari sekolah kami," ujar kepala sekolah SMP Negri 22, Muhammad Nazib.
Terlepas dari konflik yang terjadi, ternyata pulau rempang yang memiliki luas 17.000 hektare itu akan di jadikan Kawasan pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agropariwisata, perumahan,dan energi baru terbarukan (EBT).
Pengembangan tersebut masuk dalam proyek strategis nsioanl (PSN) bernama Rempang Eco-City. Pengembangan kawasan tersebut di lakukan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), yang merupakan anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata.
Di samping itu warga rempang sangat menyayangkan kebijakan pemerintahan kota batam yang justru berpihak kepada investor asing untuk melebarkan sayapnya di pulau Rempang, serta tindakan apparat yang yang terlalu arogan dalam penertiban massa seperti tidak memiliki moral.
Menurut Zahwani, BP Batam telah melakukan sosialisasi terhadap warga, mulai dari musyawarah persiapan lokasi termasuk didalamnya penyediaan ganti rugi terhadap Masyarakat yang terkena dampak proyek tersebut.
"mereka yang direlokasi akan medapatkan bagian tanah seluas 500 m2. Kemudian akan di berikan rumah model 45 dan akan di bebaskan dari hak membayar PBB atau uang wajib tahunan" ujarnya.
Namun sepertinya pernyataan dari pihak BP batam tersebut tidak dapat menjadi solusi untuk warga rempang yang telah hidup ratusan tahun secara turun temurun di pulau rempang, yang kemudian akan direlokasikan ke wilayah baru yang dimana warga rempang harus mulai beradaptasi kembali dengan wilayah baru dan tidak menutup kemungkinan akan merubah pola hidup yang meliputi sektor penghasilan warga rempang itu sendiri. Terlebih terdapat 16 Kampung Melayu Tua berpenghuni yang telah menjadi simbol dari pulau rempang tersebut selama bertahun-tahun akan berpotensi terkena imbas dari proyek investasi jumbo terebut.
Namun amat sangat di sayangkan sepertinya pihak pemerintah yang bersangkutan secara terang-terangan mengabaikan suara dari masyarakat setempat dan justru semakin menampakkan posisinya sebagai tim sukses investor tersebut dalam menjalankan bisnisnya dan melahap habis Hak penduduk lokal yang telah hidup ratusan tahun tersebut.