Ketika mata bersua mata yang lain, timbul sebuah rasa yang aneh, mengalir hingga mengguncang sebuah tubuh hingga terdalam. Setara dengan apa yang sempat aku dan kamu lewati. Mengapa amat tak terbaca bila akhirnya kamu menghilang?
Kamu membuat ku seakan hanya akulah wanita didunia fana ini. Menatapku seperti tak ingin aku menghilang. Menyanjung bak seorang putri tanpa cela. Jejak mu pada tak terhingga pasir itu tak terlihat akibat gelombang air laut yang kejam. Tidak membekas sedikitpun, selain rasa sakitku terhadap kehilanganmu.
Sekarang kamu menghempasku seperti tidak berarti secuil pun. Pergipun kini tak lagi berpamitan. Kau pergi tanpa pamit pada hati dan pintu yang kau ketuk, sungguh tak beradab. Setidaknya berpamitlah kau terlebih dahulu agar tak kubiarkan pintuku terbuka hanya karena mu. Aku memang menangis, tapi bukan untukmu melainkan untuk diriku sendiri yang begitu malang.
Aku hanya tak sanggup menarik kembali panah yang kutancapkan sendiri. Jika saja aku tahu diawal, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini. Ini amat mendalam. Dia kutanam dengan kebahagiaan juga diselimuti cintaku yang utuh. Aku merawatnya dengan kasih sayangku. Berpikir dia akan tumbuh amat subur. Haruskah aku menariknya lagi dengan paksaan, kesakitan dan kekecewaan?
Aku tak menyalahkanmu, aku hanya menyesali tingkahku terhadap kamu. Aku tidak pandai menempatkan hati. Tak cakap pula membaca gerak tubuhmu. Kamu hanya terdampar, bukan untuk tinggal.
Namun, apakah sepatah kata tak mampu kamu ucapkan untuk kisah kita? Apakah tak sanggup penamu menuliskan sedikit cerita kita? Aku tahu betul, kamu bukan seorang yang bisu tidak juga hilang jari tangan mu satupun.
Sangat diharapkan kamu benar-benar pergi untuk tak pernah kembali, karena tak bisa aku mendapatimu lagi agar panah ini keluar dari hidupku. Lepas aku obati sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H