Lihat ke Halaman Asli

Problematika Pembiayaan Bermasalah Pada Perbankan Syariah dan Cara Mengatasinya

Diperbarui: 14 Mei 2018   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pembiayaan merupakan aktivitas yang sangat penting karena dengan pembiayaan akan diperoleh sumber pendapatan utama dan menjadi penunjang kelangsungan usaha bank. Sebaliknya, bila pengelolaannya tidak baik akan menimbulkan permasalahan dan berhentinya usaha bank . Tunggakan pembayaran pembiayaan masih menjadi masalah yang serius pada perbankan di Indonesia, baik yang syariah maupun konvensional. Seperti halnya pada saat ini pembiayaan bermasalah sudah sangat tidak asing lagi untuk di perbincangkan akibat seringnya kasus seperti ini terjadi. Tidak di ragukan lagi kalau sampai saat ini di dalam dunia perbankan syariah tidak terlepas dari masalah itu.

Dalam dunia perbankan banyak sekali jasa-jasa yang di tawarkan, baik syari'ah maupun konvensional. Diantara produk-produk yang di tawarkan seperti pembiayaan di perbankan syari'ah dan kredit di bank konvensional. Pembiayaan atau kredit yang di tawarkan oleh bank itu bisa di dapat apabila telah memenuhi persyaratan yang telah di tentukan oleh setiap bank. Setelah para nasabah memenuhi semua persyaratan dan para pihak bank juga telah memberikan keputusan bahwa layak untuk di biayai maka proses pencairan pun dilaksanakan. Saat pembiayaan dicairkan kepada anggota, saat itu juga resiko akan muncul karena tidak semua anggota tepat dalam membayar angsuran. Jika terjadi penunggakan maka akan berdampak pada penurunan profitabilitas sehingga permintaan pembiayaan dalam rangka ekspansi bisnis menjadi terbatas. (Nadya Tiarani, 10/05/18)

Besarnya Non Performing Financing (NPF) tersebut merupakan dampak dari besarnya alokasi yang disediakan oleh bank untuk pembiayaan tanpa dibarengi manajemen risiko yang baik di hampir semua provinsi di Indonesia. Besarnya pembiayaan, memperbesar risiko terhadap kualitas pembiayaan pada bank terutama di bank syariah. Hal ini menjadi peringatan bagi perbankan syariah, agar adanya perbaikan manajemen risiko pembiayaan. 

Selain itu, kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 2014-2016 yang tidak stabil juga ikut berimbas pada tunggakan pembiayaan di sektor perbankan termasuk perbankan syariah. Adapun pengertian pembiayaan itu sendiri adalah penyediaan atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Jenis pembiayaan dapat dibagi menjadi dua, yang pertama pembiayaan produktif dimana pembiayaan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk meningkatkan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Yang kedua ada pembiayaan konsumtif, yang dalam hal ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan. (Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,(Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 160 )

Pembiayaan ini juga bertujuan untuk adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pembiayaan itu sendiri harus dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya pengusaha yang bergerak dibidang industri, pertanian, dan perdagangan untuk menunjang kesempatan kerja dan menunjang produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. (Nurul Azmi, 10/05/18)

Selain tujuan, pasti pembiayaan memiliki fungsi tersendiri bukan hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan bisnis perbankan di Indonesia, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman, memberikan pembiayaan dengan prinsip syariah yang menerapkan sistem bagi hasil yang tidak memberatkan debitur, membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh bank konvensional karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank konvensional, membantu masyarakat ekonomi lemah yang selalu dipermainkan oleh rentenir dengan membantu melalui pendanaan untuk usaha yang dilakukan, dan membuka kesempatan kerja, dalam hal ini untuk pembiayaan pembangunan usaha baru atau perluasan usaha akan membutuhkan tenaga kerja baru sehingga dapat menyedot tenaga kerja yang masih menganggur.(Jurnal, Meiga Gemala-FSH.pdf)

Beranjak kepada kriteria pemberian pembiayaan, biasanya perbankan syariah akan mempertimbangkan dengan sifat belas kasihan, dengan sistem kenalan (bersaudara atau teman), dengan memilih nasabah orang terhormat (terkenal, disegani, status sosial tinggi dll) utamakan berdasarkan unsur-unsur, dengan mengukur kelayakan  usahanya, dan dengan kemampuan membayar dari nasabah itu sendiri. (Nurul Azmi, 10/05/18)

Biasanya dalam pemberian pembiayaan oleh si pemberi pinjaman diminta jaminan dari si pengambil pembiayaan, bahwa pembiayaan itu mampu dibayar. Jaminan itu ada dua macam, ada Jaminan Barang (Benda) dimana dalam hal ini si penerima pembiayaan memberikan barang sebagai jaminan kepada pemberi pembiayaan, bisa barang tidak bergerak (rumah dan tanah) bisa juga berupa barang bergerak (sepeda, mobil, dan perhiasan). Jika yang berhutang (yang mengambil pembiayaan) tidak memenuhi janjinya, maka pemberi pembiayaan berhak menjual atau menyita barang jaminan tersebut. Selain jaminan benda, pembiayaan juga membolehkan jaminan orang. Jaminan orang biasanya si penerima pembiayaan menunjukkan pihak ketiga yang bertanggung jawab atas penetapan janji yang telah dibuat oleh si penerima pembiayaa. Pihak ketiga menjamin bahwa pembiayaan yang diambil oleh orang atau badan yang dijaminnya itu akan mampu membayar. (Syamsuddin Mahmud,  Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi dan Koperasi, (Jakarta:PT.Intermasa, 1986), h. 190-191)

Ketika berbicara soal pembiayaan, pastilah tidak akan terlepas dari dasar-dasar pemberian pembiayaan itu sendiri. Kemampuan seseorang untuk mendapatkan pembiayaan tergantung pada kepercayaan, bahwa si penerima pembiayaan mampu dan mau membayar kembali. Pernyataan bahwa pembiayaannya buruk, menunjukkan kurang kepercayaan baik kemampuan maupun kemauannya untuk membayar kembali. Pada umunya, nilai pembiayaan seseorang tergantung pada budi pekerti dari orang yang mengambil pembiayaan, besar kekayaan dan utang dari peminjam, penghasilan yang mungkin didapat, adanya jaminan-jaminan yang diberikan, keadaan ekonomi pada umumnya. Bank, baik bank konvensional maupun bank syariah dalam memberikan pembiayaan atau kredit kepada debitur berupaya menjaga agar investasinya aman dan menguntungkan. (Nadya Tiarani, 10/05/18)

Secara umum dalam pemberian pembiayaan kepada nasabah, pihak Bank atau lembaga keuangan lainya perlu memperhatikan prinsip-prinsip penilaian dalam pemberian pembiayaan yang disebut dengan prinsip 5C diantaranya (Caracter) yaitu Penilaian watak debitur terutama mengenai itikad baik, kejujuran, sifat dan kepribadian. Kemampuan (Capacity) yaitu Kemampuan debitur dalam mengembalikan pinjaman pokok dan marginnya. Modal (Capital) yaitu modal yang dimiliki oleh debitur sendiri. Agunan (Collateral) yaitu nilai barang jaminan yang diberikan oleh debitur yang sepadan dengan jumlah pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank. Prospek usaha (Condition of economic) yaitu kondisi usaha, prospek ekonomi, dan kepastian hukum. (Jurnal, Ade Abdul Mukti, repository syekhnurjati.pdf).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline