Lihat ke Halaman Asli

Pertarungan Opini Antara Mochtar Pabottingi Vs Julian Aldrin Pasha

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_238163" align="alignleft" width="263" caption="MP vs JAP"][/caption] di ruang diskusi sehat ini saya hanya akan menyajikan pertarungan opini antara Mochtar Pabottingi dengan Julian Aldrin Pasha terkait dengan tema "presiden 3 periode" (twitter: #presiden3periode). Pertarungan Opini ini bisa anda simak pada harian kompas pada tanggal 23 Agustus 2010 dan 25 Agustus 2010. Sekilas tentang Mochtar Pabottingi: Seorang Peneliti Senior di LIPI dengan jabatan Peneliti Utama pada bidang Perkembangan Politik Nasional dengan fokus kajian Pemikiran Politik, Kelembagaan Politik. Pendidikan terakhir S3 University of Hawaii, jurusan Ilmu Politik, lulus tahun 1991.(sumber: LIPI ) Sekilas tentang Julian Aldrin Pasha: Seorang juru bicara kepresidenan dengan pendidikan terakhir S3 dari Hosei University, Jepang.( sumber : Vivanews.com). akun twitter: japasha

------------------------------------------

tulisan Mochtar Pabottingi dimuat pada Harian Kompas tanggal 23 Agustus 2010 berjudul Presiden dan Evasi Eksekutif. Pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR, Presiden SBY melontarkan suatu wacana yang mengundang tanda tanya. Dia menegaskan ”akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada akhir periode kedua dan tidak akan memperpanjang masa kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi” (Kompas, 19/8). Weleh! Weleh! Pernyataan ini seperti mendadak turun dari langit. Nalarnya lemah, terasa dicari-cari, dan karena itu langsung mengguratkan kernyit di kening. Dalam wacana publik sepanjang pemerintahannya tak pernah terbetik adanya kekhawatiran mendasar bahwa Presiden SBY akan mengubah konstitusi untuk kembali berkuasa hingga 2019. Kita dapat memahami jika imbauan untuk mempertahankannya satu periode lagi datang dari Ruhut Sitompul—dan tampaknya memang hanya dia yang bisa melontarkan imbauan demikian. Kita juga mengerti jika benar Lee Kuan Yew melontarkan imbauan serupa. Kita cukup tahu siapa Lee bagi Indonesia. Bagi saya, Ruhut maupun Lee mengimbau ke negeri antah berantah. Disayangkan, lagi-lagi, mengapa Presiden menanggapinya secara serius di tempat yang serius. Jika Presiden SBY beserta segenap pendamping, pengiring, dan juru bicara setianya mau benar-benar menyimak lubuk hati masyarakat bangsa kita terutama dalam setahun terakhir ini, maka mereka rata-rata akan berjumpa dengan sesuatu yang sama sekali lain dari ”wacana lima tahun lagi”. Mereka umumnya akan berhadap-hadapan dengan keresahan dan keprihatinan yang begitu luas bukan hanya tentang ke mana negara kita mau dibawa oleh para pelaksananya, melainkan lebih-lebih sampai seberapa jauh lagi bangsa kita bisa tahan dengan pembiaran negara yang skalanya kian meluas. Dalamnya keresahan dan keprihatinan ini juga tergambar pada harian Kompas yang bahasanya selama ini selalu santun. Harian ini tak urung menulis bahwa ”potensi kemungkinan Indonesia menjadi ’negara gagal’ semakin besar” (”Kesalehan Sosial Bangkrut”) dan bahwa negara kita memerlukan ”terobosan radikal dengan prioritas jelas” (Tajuk ”Persoalan Berlapis-Lapis”, Kompas, 10/8). Dengan tingkat keresahan dan keprihatinan ini, ”lima tahun lagi” adalah sungguh jauh panggang dari api. Tantangan terbesar Tantangan terbesar Presiden SBY datang dari atau berada dalam dirinya sendiri. Dia terlalu kerap berwacana sebagai pengamat, terlalu sering mengimbau dan mengadu, dan terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra ilusif. Kesibukan demikian membuatnya hampir selalu bersikap evasif, menunda konfrontasi dengan masalah, dan keranjingan mendelegasikan persoalan—sama sekali tidak fully in charge. Presiden seolah-olah tidak menyadari bahwa dialah pemimpin eksekutif—pengambil keputusan, bukan pemimpin pengelak, juru tunda, atau solisitor keputusan dari para bawahannya. Inisiatif utama dan eksekusi tegas untuk mengatasi simpul- simpul persoalan kenegaraan yang selama ini mendera masyarakat semestinya berasal, bertumpu, dan bertolak dari diri dan kantor presiden, sebab memang itulah tugas inheren kepresidenan. Jika Presiden SBY benar pengagum Amerika Serikat, dia bisa menarik rangkaian pelajaran segar-prima dari Presiden Obama. Setelah setahun lebih memimpin Amerika, kita tahu bahwa Obama telah tampil sebagai ”logam mulia”. Ia tak gentar berhadap-hadapan langsung dengan lawan-lawan utama politiknya atau dengan tantangan-tantangan besar yang kini dihadapi bangsanya. Dia tidak memasuki gelanggang hanya untuk membangun citra dari soal-soal sepele yang kebetulan menyita perhatian publik. Dia memprakarsai dan melancarkan solusi-solusi centennial atas tantangan-tantangan besar tadi. Sudah dua tiga kali dia memasang badan tepat di ujung tombak tantangan. Pemahaman konsisten-progresif Kontras dengan SBY, Obama sama sekali tidak sibuk membangun citra, apalagi dari mengurusi soal-soal yang bisa ditangani jenjang otoritas bertingkat-tingkat di bawahnya. Dia tak takut kehilangan popularitas. Ketegasan pendiriannya menyangkut rencana pembangunan The Cordoba Islamic Center dengan masjid di dalamnya yang diprakarsai oleh Imam Feisal Abdul Rauf dua blok dari ”Ground Zero” 9/11 kembali membuktikan hal itu. Landasan utama Obama adalah pemahaman konsisten-progresifnya akan konstitusi Amerika serta ketegaran-tulusnya berdiri di situ. Bebas dari rekayasa pepesan kosong, darinya terpancar hati yang teguh dan bersih, kerja yang penuh dan gigih. Maka, tanpa dipoles-poles, adicitra yang menyata dari sosok Obama sejauh ini adalah benar-benar sebagai ”logam mulia”. Tanpa pemenuhan harapan rakyat dari Presiden SBY, sulit membayangkan kemurnian dan signifikansi pengikut Lee-Ruhut, jika pun ada, dengan lantunan koor ”Encore!” Sejujurnya, dari suara-suara di sekitar kita, yang terbetik dominan justru adalah kecemasan merata tentang apakah bangsa kita sanggup menanggungkan begitu banyak pembiaran dari mayoritas pelaksana pemerintahan, terutama di jajaran eksekutif, selama empat tahun lagi! Alih-alih mendengarkan lagu-lagu melankolis dari istana, yang justru sudah terus mengentak adalah lagu Barbara Streissand, ”Enough is enough!” Jika kita ikhlas mau menyelamatkan republik kita dari nasib ”negara gagal”, mari bersama mengimbau Presiden untuk berhenti bercitra-hampa, berhenti terus menghindar (”Itu bukan wilayah saya, itu bukan wewenang saya”), dan mulai sungguh-sungguh memasuki gelanggang sebagai pemimpin eksekutif sejati. Percayalah bahwa jika pun ada, amat sangat sedikit rakyat yang menginginkan Pak SBY terus repot memimpin Indonesia hingga 2019. Tetapi darinya seluruh rakyat sudah lama merindukan rangkaian langkah yang konkret meringankan beban mereka dan tidak melulu memedulikan mereka dalam citra, yang riil memberantas korupsi dan tidak melulu memberantasnya dalam citra—apalagi sembari terus membiarkan KPK diobok-obok dalam babak-babak dagelan pengadilan yang sama sekali tidak lucu! Mochtar Pabottingi Peneliti Senior

***********************************************************

tulisan Julian Aldrin Pasha dimuat pada Harian Kompas tanggal 25 Agustus 2010 berjudul Konsistensi Presiden. Mendalami tulisan profesor riset Mochtar Pabottingi atas pernyataan Presiden pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR di Kompas, 23 Agustus 2010, perlu dibuat tanggapan klarifikatif. Setelah pernyataan Ruhut Sitompul dilontarkan, banyak pertanyaan datang kepada saya. Intinya, bagaimana sikap Presiden? Terus terang, perasaan saya sama dengan perasaan Prof Pabottingi: seperti mendengar pernyataan yang jatuh dari langit di siang bolong tanpa ujung pangkal. Atas nama akal sehat, pernyataan itu harus diluruskan. Mengapa ditanggapi serius? Jawabannya: karena concern media massa. Menjadi penting karena hampir semua media, baik elektronik, dunia maya, microbloggers (Facebook dan Twitter), maupun media cetak, tampak begitu bersemangat menaikkan dan mengedepankan ”nyanyian” sumbang itu. Substansinya spekulatif. Seputar bahwa apakah suara itu sesungguhnya berasal dari Istana? Atau, mungkinkah ia hanya orang suruhan? Atau, sebaliknya, sebagai menu pembuka hidangan politik, hitung-hitung testing the water? Atau, mungkin ini justru perintah ”certiorari” dari dalam parlemen sendiri? Rangkaian probabilitas di atas kemudian mendorong saya menyampaikan kepada Presiden bahwa perlu dibuat pernyataan pada saat sambutan peringatan Hari Konstitusi. Pertimbangannya, momentumnya tepat karena wacana itu bersinggungan dengan konstitusi. Seandainya tanpa ada pernyataan Presiden, hampir pasti isu tersebut kemudian menggelinding memenuhi ruang publik, menggeser isu atau substansi penting lainnya, seraya memberi ruang yang lebih dari cukup bagi para komentator, pengamat, atau pakar komunikasi politik untuk mengemukakan hipotesis dan analisisnya yang belum tentu sepenuhnya benar, kalau tidak pantas dikatakan ngawur. Diskursus semu Wacana seputar citra Presiden tidak perlu didramatisasi. Wacana dan diskursus terhadap hal itu sungguh tidak relevan dalam konteks Presiden SBY. Bahwa ada garis batas dan perbedaan jelas antara politik pencitraan serta keseriusan bersikap dan konsistensi tindakan. Politik pencitraan adalah bentuk lain dari ”pepesan kosong”. Tidak ada permanenitas dan konsistensi di dalamnya. Ibarat salon mobil atau salon kecantikan, cukup dipoles sehingga baret atau luka dapat tertutupi. Beberapa konsultan politik telah demikian mahir sehingga mampu dalam sekejap ”memoles” sesuai dengan citra yang ingin diciptakan. Namun pasti, make up semacam itu tidak tahan lama, cepat luntur, karena tidak bersumber dari hati dan dilakukan secara konsisten. Keseharian seorang SBY adalah bersikap dan bertindak secara konsisten, disiplin, berdasarkan kebiasaan serta keyakinannya. Berangkat dari realitas, tudingan bahwa Presiden menghabiskan waktu untuk membangun citra ilusif dan bersikap evasif menunda konfrontasi dengan masalah serta sama sekali tidak fully in charge, sebagaimana disebut sang Suhu, mahaguru, membuat saya bertanya, apakah postulat ini berdasarkan kajian riset dan terhindar dari harum-scarum serta bebas-nilai? Atau, hanya keyakinan berdasar informasi dunia maya dengan sejuta ilusi di dalamnya? Undreamed-of, memang sulit memahami secara utuh cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang presiden bila dibayangkan atau dilihat hanya dari kejauhan. Sedikit orang yang tahu bahwa hampir seluruh waktunya didedikasikan bagi kepentingan, kemajuan, dan keselamatan bangsa dan negara. Bagaimana seorang SBY harus menghadapi kompleksitas luar biasa dalam memimpin negara Indonesia. Dibutuhkan wawasan pemahaman komprehensif yang cerdas, bijak, dan terukur. Permasalahan senantiasa muncul. Sejauh ini, sebagian telah dikelola dengan baik, sisanya masih merupakan tantangan untuk diselesaikan sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab pemerintahan SBY hingga Oktober 2014. Sejarah mencatat bahwa bangsa yang maju ditopang oleh kerja keras dari orang- orang terbaik. Ibarat logam mulia atau crème de la crème, mereka memiliki semangat segar-sehat-harmoni, dengan pikiran maju untuk membangun negaranya. Mereka maju karena pemerintahan berjalan optimal tanpa diganggu oleh intrik dungu, narrow-minded, kesinisan, atau hujatan yang ”dimainkan” oleh sekelompok orang yang punya vested-interests. Negara ini memiliki segalanya, termasuk resources yang diperlukan menjadi negara maju. Menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara dalam menjaga dan membangun negara, sebagaimana diamanatkan founding fathers bangsa lebih dari enam puluh lima tahun lalu. Presiden sebagai lembaga Sering kali disalah mengerti bahwa presiden sesungguhnya lembaga, bukan pribadi. Bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan tidak serta-merta dikultuskan sebagai individu sebagaimana seorang pemimpin ultra-Vires. Pandangan semacam ini mungkin bisa dipahami di masa lalu. Ketika ekspektasi terlalu besar dialamatkan kepada lembaga kepresidenan, jangan dilupakan bahwa ada pranata politik atau institusi lain yang juga—harus—bekerja. Lebih dekat, spesifik, dan teknis. Lembaga kepresidenan bukan segalanya. Di pusat juga ada kementerian dan lembaga, sementara daerah pun memiliki lembaga sesuai tugas dan fungsi dalam menjalankan pemerintahan. Akhirnya, secercah harapan kepada para peneliti sosial untuk melakukan kajian demi menjawab keraguan dan kecemasan dalam menyongsong tantangan lima tahun ke depan, pasca-2014. Perlu dibuat proyeksi bangsa kita ke depan. Harus diakui, setidaknya dalam lima tahun terakhir bangsa ini telah melangkah maju. Tidak perlu terlalu pelit memberi apresiasi karena masyarakat dunia mengakuinya. Tentu banyak hal yang masih harus dikejar, diperbaiki, dan disempurnakan. Sebaliknya, sebagai antisipasi hal-hal yang dapat menjerumuskan kita menjadi failed state, sebagaimana dikhawatirkan, akan sangat diapresiasi bila muncul kajian empiris yang mengungkapkan filling the gap, what went wrong with our lovely country? Dan para komentator politik tidak cukup punya waktu melakukannya. Julian Aldrin Pasha Juru Bicara Presiden RI

==================================

silahkan anda membaca dan mengurai serta menganalisa lebih lanjut dari 2 tulisan opini ini, anda berhak untuk menyuarakan pendapat anda terkait tulisan diatas. selamat berpendapat. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline