Presiden Joko Widodo meninjau lahan yang terbakar di Banjarbaru, Kalsel. (Kompas.com/Reuters)
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan kejadian tahunan setiap musim kemarau sejak 14 tahun lalu. Tidak dipungkiri, atmosfer otonomi daerah menjadi salah satu penyebabnya. Otonomi daerah dimaknai oleh sebagian besar pemerintah daerah sebagai hak untuk memperbesar pendapatan asli daerah dari sumber daya alam, termasuk kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan ini menimbulkan bencana besar. Plasma nutfah lenyap; habitat satwa hancur; bahkan nyawa anak bangsa pun melayang. Tidak terhitung lagi berapa besar kerugian ekonomi dan ekologis yang ditimbulkan.
Puncak bencana buatan ini, sangat terasa ketika Sumatera, Kalimantan, bahkan Papua diselimuti kabut asap saat paruh kedua 2015 lalu. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, LAPAN, memperkirakan dari 1 Juli hingga 20 Oktober 2015, 2.089.000 hektare hutan dan gambut telah terbakar di seluruh Indonesia. Ini 32 kali luas Jakarta Raya. Lebih mencemaskan lagi angka World Resources Institute di Washington. WRI melaporkan volume emisi karbon Indonesia akibat kebakaran hutan dan gambut itu pada 14 Oktober sudah melebihi emisi karbon rata-rata harian seluruh perekonomian Amerika. Besaran ini ialah 15,95 juta ton karbondioksida eqivalen.
Pemerintah akhirnya menetapkan gambut terbakar sebagai obyek terbesar penyumbang asap. Karena itu, dalam pidatonya hari pertama di Konferensi Perubahan Iklim (COP 21) Paris 30 November 2015, Presiden Joko Widodo menyatakan akan melakukan restorasi gambut dengan membentuk Badan Restorasi Gambut. Artinya lahan gambut di Indonesia yang sudah rusak akan dipulihkan dan yang masih bagus akan dipertahankan. Harapan ke depan ialah tidak lagi terjadi kebakaran lahan gambut yang menyuplai asap sedemikian pekatnya.
Sebelum puluhan triliun rupiah uang rakyat digelontorkan untuk restorasi gambut ini, pemerintah yang berwenang mengurus negara harus memahami sesuatu tentang lahan gambut. Luas lahan gambut di Indonesia kira-kira 20,6 juta hektar atau 10,8% dari luas daratan negara Indonesia, tersebar luas di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (Wetlands International Indonesia Programme, 2004-2006).
Lahan gambut merupakan ekosistem yang ekstrem, rendah unsur hara, kaya bahan organik, asam, dan tergenang air, sehingga hanya jenis-jenis tertentu yang dapat beradaptasi dengan kondisi ekstrem ini. Vegetasi alami yang terbentuk membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk menjadi klimaks. Tuhan yang Mahakuasa sebenarnya menciptakan lahan gambut ini bukan untuk diekploitasi kayu dan lahannya. Ini karena gambut mempunyai fungsi untuk pelestarian sumber daya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan keanekaragaman hayati, dan pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon).
Bencana lingkungan kebakaran gambut, muncul ketika bentang alam gambut yang semula selalu tergenang air diubah dengan sistem kanal-kanal (kanalisasi) untuk berbagai kepentingan. “Kanalisasi” akan menghilangkan air jenuh pada areal gambut. Ini menjadikan gambut bagian atasnya menjadi kering yang sangat berpotensi sebagai sumber kebakaran. Sementara itu, gambut bagian bawahnya yang lembap berpotensi sebagai sumber asap yang sangat banyak.
Kesalahan pemerintah masa lalu yang mengijinkan eksploitasi lahan gambut untuk penghasil kayu, izin pembukaan areal perkebunan-pertanian, dan izin hutan tanaman industri perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah sekarang. Untuk efektivitas restorasi lahan gambut, siapkan pemerintah menjadikan 10,8% dari wilayah daratannya, yang berupa lahan gambut, dijadikan kawasan lindung? Yang nanti pengelolaannya diserahkan kepada badan restorasi yang akan dibentuk.
Restorasi lahan gambut tidak hanya berbicara masalah teknis restorasinya, namun juga perlu diperhatikan payung hukum tentang lahan gambut tersebut. Restorasi gambut yang akan dilakukan oleh pemerintah, semestinya diawali dengan sinkronisasi aturan tentang tata ruang kawasan gambut.
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan pola ruang suatu wilayah meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan ruang untuk fungsi budi daya. Selanjutnya, penjelasan pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa yang termasuk dalam kawasan lindung antara lain “kawasan bergambut”. Namun dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan bergambut tidak masuk dalam kriteria penetapan kawasan hutan lindung, hutan produksi, atau hutan konservasi. Fakta di lapangan ialah cukup luas kawasan hutan produksi yang arealnya sebenarnya merupakan kawasan gambut.
Tidak salah secara hukum kalau kemudian pemerintah waktu itu memberikan izin pengusahaan hutan pada areal gambut di hutan produksi tersebut. Ini karena dalam Undang-Undang Penataan Ruang, hutan produksi termasuk ke dalam kawasan budi daya.