Lihat ke Halaman Asli

Dilema “Move On”

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dewasa ini, kita berulang-ulang mendengar kata-kata “move on”, yang demikian tertuju, khususnya kepada kaum muda-mudi, lebih khusus lagi pada mereka bermasalah dan terutama, pada mereka yang mempunyai kenangan pahit bersama siapa atau apa saja itu.

Move on merupakan sebuah istilah yang populer utamanya di generasi muda saat ini. Artinya kurang lebih adalah melupakan apa yang telah lalu dan menatap masa depan. Istilah ini, lebih sering diterapkan terhadap orang yang patah hati dan sulit melupakan mantan pacarnya. “Ayo move on! Lupakan dia, masih banyak cewek lain yang layak untuk kamu cintai!!”, contoh, kurang lebih penggunaannya.

Istilah kata tersebut, selain hangat dalam pembicaraan langsung, juga ramai dalam maya. Blog sebagai sebuah media tempat pemiliknya mencurahkan hati, sering diisi dengan tema-tema; cinta, patah hati, dan move on. Muncul beraneka macam cerita, entah itu fiksi atau kisah nyata, entah itu murni imajinasi atau sebenarnya curhat yang terselubung.

Hal-hal di atas, juga banyak ditemui di media jejaring sosial seperti facebook dan twitter.

Dari sini tampaklah bahwa kata-kata “move on” telah tersiar memengaruhi pemikiran, atau jalan berpikir kawula muda selain dari kata cinta dan patah hati. Dengannya berbenah, melupakan yang telah lalu dan menatap yang akan datang. Ia ampuh dalam mengubah pikir. Akhirnya, entah itu cepat atau lambat, juga dapat memengaruhi perasaan seorang penerimanya. Mengapa demikian? Seseorang bisa berubah dari yang tadinya lemah lembut menjadi kasar, berubah dari yang tadinya lemah lembut menjadi keras dan kaku setelah ia mendengarkannya. Ini terjadi, seandainya ia, benar-benar melupai akan masa lalunya. Meski tidak semua orang.

Maka muncul sebuah tanya lainnya, apakah “move on”itu harus benar lupa yang lalu?

Ketika seseorang mendengar teman atau sahabat mengatakan padanya,”Move on!”, secara tidak langsung sebenarnya itu menstimulasi daya otaknya untuk perlahan mengiyakannya. Jika sudah demikian setidaknya, orang itu akan cenderung melakukan apa yang menjadi iya-nya. Hingga terlalu sering sampai benar-benar melakukan. Oleh sebab itu, perasaan bisa berubah. Nurani yang tadinya peduli sedikit demi sedikit terabaikan lalu meredup. Ia tidak sampai mati, namun sangat mengkhawatirkan. Ia bisa mengeluarkan kata-kata,”Ah, buat apa masa lalu?”, ”Lupakan sajalah!”, dan lain sebagainya kepada dirinya sendiri. Akhirnya sekali lagi, kasar, nuraninya pelan-pelan keras dan kaku. Mudah melupakan sesuatu khususnya yang telah berlalu.

Ini yang menakutkan, sifat mudah, memudahkan untuk melupakan yang telah terjadi. Padahal tidak seluruhnya kejelekan yang lalu itu, tentu saja meski pahit, harus dilupakan benar. Pastilah terdapat hikmah dan pelajaran di balik semuanya, yang barang kali penyebabnya ialah, tidak melulu oleh kesalahan lawan atau pasangan tetapi malah kesalahan diri sendiri.

Tidakkah betapa seharusnya malu seandainya seseorang berbicara,”Aku harus move on!”, sementara dialah yang menyalahi alias sebab musabab sesuatu kesalahan terjadi? Tanpa maaf.

Move on tidak seharusnya lupa benar-benar lupa tetapi bergerak atau melangkah maju, sembari mengambil apa yang sebaiknya tetap diambil tanpa harus mengubah nurani kepedulian, untuk waspada terhadap penyakit hati; dendam, iri, dan dengki.

Dan kata-kata move on, tidak selalu harus dikaitkan dengan manusia saja, bekas pacar, tetapi juga apa saja asal berada hikmah dan pelajaran di baliknya.

Sehingga jadinya, melupakan masa lalu dan bergerak maju itu baik, tapi akan lebih baik, seandainya tetap memperhatikan yang lalu untuk diambil kebaikan demi masa yang depan. Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline