Lihat ke Halaman Asli

12013Y

Fresh Graduate

Jubah Putih yang Menghitam

Diperbarui: 2 Desember 2019   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Untuk yang pertama dan yang paling utama, aku ingin menyatakan  bahwa aku 100% orang baik-baik yang 100% benci orang jahat. Setelah membaca cerita ini mungkin kalian akan menilaiku berbeda, karena itu kuingin kalian memiliki pandangan positif atas diriku setidaknya di awalnya saja. Aku seorang lelaki yang ingin menjadi sebenar-benarnya laki-laki, seorang pemuda yang benar-benar ingin berjiwa muda, seorang hamba yang benar-benar ingin mengabdi pada Tuhannya.

Setiap hari kuhabiskan untuk berpikir dan menimbang-nimbang, jalan mana yang harus kutempuh untuk memenuhi tujuan mulia di hati. Hingga pada akhirnya aku jatuhkan pilihan pada dunia politik, menjadi seseorang yang berpengaruh dan memiliki kekuatan untuk menentukan perubahan dan arah tujuan negeri ini. Tidak sedikit mereka yang melarang, menghujat dan menghina pilihanku, bisa jadi mereka khawatir padaku, atau takut dengan keberhasilanku, atau iri dengan keberanianku, atau... ah!, sudahlah, itu urusan mereka. Yang aku tahu diri ini sudah berada di jalur yang tepat.

Dunia politik, lembah hitam berisi manusia selevel dengan setan, sepertinya hanya spesies itu yang mampu bertahan, kau harus benar-benar bersih agar dapat jadi  panutan, jika bukan, pergi saja dan tinggalkan. 

Mendengar hal itu membuatku ingin mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan negeri ini?, mengapa kita terlalu enggan untuk memperbaiki kesalahan? Dunia politik pemerintahan adalah pabrik yang memproduksi kebijakan-kebijakan yang menentukan akan seperti apa nasib bangsa dan Negara, menjadikannya seperti neraka dan membiarkan apinya terus menyala, kapan negeri ini bisa terasa bagai surga? 

Sangat miris melihat mereka yang berjubah putih bersikap anti dan menjauhi dunia politik, membuat mereka yang berjubah hitam semakin leluasa menguasai, membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan negeri, saat itu semua terjadi, yang berjubah putih hanya bisa menasehati, karena yang berjubah hitam berkekuatan menghakimi. Seperti ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib RA, "akan selalu ada kemungkaran terjadi di muka bumi ini, bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena diamnya orang baik."

Jadi sekarang, aku akan menjadi orang berjubah putih pertama yang memasuki dunia para jubah hitam, sudah saatnya menyingkirkan para tikus dan sampah itu dari rumah. Kepercayaan diri tinggi menjadi modal pertama untuk melangkahkan kaki, "bismillah....."

Untuk masuk kesana memang tidak mudah, aku harus mengikuti prosedur dan tata cara licik yang sudah sangat membumi, diciptakan untuk mengamankan wilayah mereka, tempat ini memang benar-benar neraka. Menyalonkan diri dari pejabat aku harus memiliki banyak suara, sistem pemilihan langsung ini memang bagus namun juga rentan. Suara, benda tak berwujud yang dipaksakan ada dalam bentuk kasat mata, mewakili keinginan pemilik suara, yang jadi masalah adalah benarkah ia benar-benar mewakili yang benar dengan benar? Entahlah.

Saatnya mengumpulkan pendukung, aku harus menang apapun yang terjadi, musuh menggunakan politik uang membeli suara, jika hanya diam aku bisa ketinggalan. Namun apa daya aku bukanlah orang yang berada, dengan terpaksa aku meminjam uang dari para rentenir kaya, uang didapat namun dengan syarat, jika aku menang, mereka harus ikut senang, jika aku tidak menang, jangan harap bisa hidup tenang. Resiko seperti itu lebih baik dijadikan urusan belakang, karena sekarang sudah saatnya bagi-bagi uang.

Memasuki tahap kampanye, musuh mulai menebar aksi dan juga caci maki, mengelu-elukan diri dengan ribuan janji manis, menjelek-jelekkan lawan dengan ribuan ungkapan bengis. Aku tidak bisa tinggal diam, otak yang cerdas ini tidak mungkin disia-siakan, mencipta dan menyebarkan isu-isu negatif dan propaganda menjadi kegiatan wajib di setiap agenda. Janji manis juga jangan sampai lupa, tidak hanya manis namun juga berbunga-bunga, realistis tak lagi jadi prioritas utama, hanya bumbu yang jadi penyedap telinga.

Kini tiba waktunya pemungutan suara, semua agen disebar keseluruh penjuru Negara, menjadi pengawas sekaligus pelancar usaha. Dengan bekal koper berisi uang masing masing di kanan dan kiri, petugas pemungut suara jadi teman yang bisa dipercaya. Semua persiapan telah terlaksana tinggal menunggu hasil dari usaha. Benar saja, aku menang dengan mutlak. Musuh mulai curiga, menciptakan isu-isu tidak sehat untuk mementahkan hasil pemilihan, pengadilan kini menjadi tumpuan. Namun sayang, keadilan dengan mudah bungkam di depan uang. Yang benar pasti menang?, tentu saja, karena pemenanglah yang akan menentukan seperti apa wujud kebenaran.

Nasihatnya memang benar, "jika kau tidak menyukai sebuah peraturan, diam, taati, dan ikuti saja sampai kau menggapai puncak, setelah berkuasa kau bisa mengubahnya semudah mengedipkan mata." Dengan mengikuti cara main mereka aku kini menjadi sang penguasa, semua kebijakan dan peraturan ada dalam kendali. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline