Lihat ke Halaman Asli

Sekolah dan Budaya Baca Anak

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1301852496238537010

Anak adalah bukti kemahabijaksanaan Tuhan bagi manusia, di samping kebijaksanaan Tuhan lain yang tak sanggup kita hitung walau menggunakan air laut sebagai tinta untuk pencatat kebijaksanaan tersebut. Tuhan tak mencampuri urusan manusia dalam menjadikan anak tersebut entah sebagai apa, tapi Tuhan hanya mewanti-wanti hambanya melalui firman-firman-Nya atau melalui sabda-sabda nabi-Nya yang mulia. Ibarat kertas putih tanpa noda, orang tua bebas berkreasi sesuai “bakat –minat”. Seperti sabda Rasul, mau dijadikan majusi atau Nasrani, orang tua mempunyai otoritas penuh. Dengan catatan mampu mempertanggungjawabkan kelak di hari pembalasan.

Orang tua di sini bukan hanya ayah dan ibu, tapi meluas termasuk guru dan masyarakat sekitar. Otorita pembentukan karakter pertama seorang anak tentu saja keluarga, selebihnya sekolah dan lingkungan. Namun, harap dicatat, sekolah adalah tempat sebagian besar waktu dihabiskan. Hampir setengah hari lebih sekolah menempa mereka menjadi “orang”. Sekolah, atau kalau layak disebut tempat pembelajaran, adalah rumah ke dua memperkenalkan nilai dan norma anutan masyarakat. Sekolah membekali selain etika-moral, juga membekalkan anak dengan pengetahuan yang tak bisa diberikan orang tua di rumah. Sekolah berandil besar dalam menentukan “isi kepala” anak. Apalagi sekolah memiliki banyak elemen pendukung untuk bertindak mencerdaskan. Elemen tersebut bersinergi dalam manajerial seorang kepala sekolah yang aktif kreatif. Apalagi sekolah berbeda dengan institusi keluarga, di mana sekolah secara khusus bertugas menyiapkan generasi bangsa menjadi kuat secara jasmani dan rohani. Tak salah jika sekolah disediakan banyak dana untuk tugas mulia ini.

Kami mengambil contoh sekolah dasar, karena dari sanalah “mata teubleut”* untuk pertama sekali. Dari mengeja abjad sampai pengenalan dasar terhadap ilmu pengetahuan. Dari mengenal peta kampung untuk selanjutnya sebagai bekal mengetahui lorong-lorong dunia yang maha luas untuk ukuran mata kita manusia. Di mana Tuhan hanya memilih orang tertentu yang mempunyai kelebihan untuk menjelajahinya. di SD-lah barangkali segala sesuatu bermula, di mana seorang anak belajar untuk berani, dalam artian dari sana mula mereka bersosialisasi dalam lingkup yang lebih luas dari sebelumnya yang hanya mengenal keluarga inti di rumah.

Menjadi kewajiban pihak sekolah dalam hal ini untuk melayani anak dalam berbagai bentuk dan pendekatan.

Sekolah bukan hanya bagaimana seorang anak mampu menghafal perkalian, mengingat-ingat deretan nama menteri Negara dan tugas-tugas mereka yang bertumpuk. lebih jauh sekolah (terkhusus sekolah dasar) adalah memberi ruang yang luas bagi ragam ekspresi. ruang ekspresi yang kami maksud tentu saja bukanlah memberi secarik kertas putih dan beberapa potong crayon warna lantas anak-anak disuruh menggambar sesuka hati. parahnya lagi kalau gambar yang dihasilkan hampir sekelas adalah gambar yang lazim digambar seorang anak yaitu dua buah gunung di tengahnya matahari dan dua garis miring yang menandakan itu sebagai jalan. apa yang terjadi dengan imajinasi anak? kenapa bisa seseragam itu pola pikir mereka? ada tidak hubungannya dengan pola pemerintah yang cenderung menyukai penyeragaman?.

Entahlah, yang pasti pola pikir anak di sekolah tak ubahnya baju dan sepatu yang mereka kenakan plus dasi, seragam.

Sebenarnya kita tak perlu cemas dengan imajinasi anak yang seragam begitu, jika sekolah menyediakan tempat layak bagi pemenuhan “gizi” otak. satu-satunya jalan yang tepat bagi suplemen berpikir anak adalah perpustakaan yang layak lagi menyenangkan. akan lebih manis lagi jikalau sekolah menyediakan buku yang layak dibaca anak. semacam majalah bergambar. atau buku komik yang akhir-akhir ini banyak diterbitkan untuk menjawab kebutuhan penggilanya.

Jikalau pustaka sudah menjadi sahabat baik anak, bisa dipastikan secara tidak lansung akan meminimalisir keseragaman cara berpikir dan imajinasi mereka. pun kalau pustaka sudah menjadi rumah ke dua yang menyenangkan anak, bukankah ini satu tamparan kecil bagi sebagian guru yang lebih suka ngerumpi ketimbang menenggelamkan diri dalam bacaan.

Sungguh menyedihkan, dalam pekarangan sekolah yang indah nan asri kita menemukan ruangan perpustakaan saban hari tertutup manis pintunya, karena guru yang menjadi penanggungjawabnya punya tugas ganda. parahnya lagi kalau pun dibuka hanya kelas tertentu saja yang bisa masuk untuk membaca. boleh jadi pihak sekolah menghindari terjadinya suasana yang jauh dari ketenangan, atau penjaga pustaka merasa malas membereskan kembali buku yang berserakan sehabis dibaca anak. itu hanya kecurigaan kecil saja.

Membuat jadwal berkunjung perkelas bukan solusi bijaksana, karena kehausan akan informasi tidak datang di hari tertentu saja. apalagi bagi anak yang tingkat kecanduan terhadap bacaan sudah melampaui guru.

Meningkatnya budaya baca pada anak tidak datang lantaran suruhan atau mewajibkan anak membaca saban waktu tanpa melihat kondisi jenuh. ianya akan timbul sendiri dari kondisi di mana mereka melihat gurunya selalu akrab dengan buku. bukankah sifat anak condong pada hobi meniru apa yang mereka kagumi?.

Jika budaya baca sudah berjalan, maka penyediaan bahan bacaan mestilah variatif. untuk menghindar dari kebosanan anak. pihak sekolah wajib jeli melihat buku kesukaan anak. yang terjadi hari-hari ini malah perpustakaan sekolah tidak berusaha mem-plot-kan dana khusus buat pengadaan buku di luar buku wajib ajar. kami mendapati banyak buku dengan tiba-tiba datang dari distributor. padahal sebelumnya pihak sekolah tidak pernah diajak untuk mengisi daftar buku yang dibutuhkan untuk menambah koleksi. akibatnya, buku yang datang tiba-tiba tersebut menjadi mubazir. kalau tidak ingin dikatakan sia-sia. sebab buku yang sampai ke sekolah sebagian besar buku ilmu terapan praktis, seperti; berternak ayam buras, budidaya ikan air tawar, cara membuat tempe serta buku wajib ajar yang hampir rata-rata anak sudah tidak merasa berkepentingan untuk membacanya,

Biar bagaimana pun bobroknya, perpustakaan sekolah mesti tetap berjalan walau terseok-seok di tengah gencarnya kemudahan mengakses informasi di era digital ini. di mana kebanyakan guru sudah jauh tertinggal dalam urusan dunia maya dibandingkan dengan siswa mereka sendiri yang rata-rata masih di bawah umur.

Walau internet menyajikan ribuan informasi sekali klik. buku tetaplah harus dinomorsatukan. karena buku tak memberi efek radiasi ke mata layaknya layar komputer, untuk membaca sesuatu kita mesti menontonnya seperti televisi.

Akhirnya, sekolah yang ditopang oleh budaya baca yang relatif bagus akan menempatkan akal sehat di depan dalam menghadapi persoalan rumit maupun sepele. dengan sendirinya menjadikan sekolah ramah anak, bukan ramah guru.

Dari sana pula ilmu pengetahuan akan mampu menjawab persoalan pelik dalam masyarakat. ilmu pengetahuan benar-benar benar-benar bermanfaat dan dimanfaatkan oleh sipengamal. bukan seperti sekarang ini, ilmu pengetahuan seperti melayang-layang tak membumi. sehingga sekolah banyak melahirkan siswa yang apatis dan peragu.

2010. Blang Oi. Banda Aceh

*terbuka mata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline