Liburan akhir tahun 2020 saya habiskan dengan membaca buku baru yang baru akan diluncurkan bulan Januari 2021. Suatu kebahagiaan bisa memilikinya sebelum resmi meluncur. Kekurangannya satu, belum ditandatangani penulis.. hehehe.
Buku berjudul Sate Ratu, Kok Bisa Gitu ditulis oleh Fabian Budi Seputro, pemilik Rumah Makan Sate Ratu yang ngehits setelah dikunjungi wisatawan lebih dari 85 negara. Buku ini sebagai kado 5 tahun perjalanan Sate Ratu mewarnai kasanah kuliner Yogyakarta. Saya baru kenal dan mencicipi Sate Ratu tahun 2018, saat dikenalkan oleh Kompasianer Jogja. Terakhir mampir ke rumah makan yang menempati pujasera Jogja Paradise, Sleman DIY ini, pada 12 Desember 2020 lalu. Tentu saja tujuannya untuk beli sate merah kesukaan, tapi karena masih merajalelanya covid-19 saya tidak makan di tempat.
Pemilik Sate Ratu memang orangnya grapyak, menyapa hampir semua orang yang mampir di rumah makannya. Bila ada waktu lebih, bisa diajak ngobrol banyak hal. Dari kebiasaan itu pula saya tahu sejarah berdirinya Sate Ratu. Kisah tersebut sudah terangkum apik di buku yang saya pegang sekarang, bahkan bisa dikatakan lebih detail dari yang saya dengar langsung dari Pak Budi.
Di halaman awal buku ini, terkuak cikal bakal Sate Ratu. Ternyata sebelumnya penulis bersama tiga rekannya membuka angkringan yang menyajikan berbagai menu, seperti halnya angkringan pada umumnya tapi dengan kualitas premium. Selain itu target pasarnya adalah turis manca negara.
.... Mengapa Ratu? Karena buat kami Ratu adalah simbol "ke-Jawa-an" atau "ke-Jogja-an". Lagi pula, Ratu adalah posisi tertinggi bagi seorang perempuan. Kami memaknainya dengan produk kami sebagai produk premium. Karena ratu adalah kasta yang tinggi, maka harapan kami walaupun angkringan, kualitasnya premium. (Hal. 8)
Rencana ternyata tidak berjalan mulus, muncul beberapa kendala yang menyebabkan pindah lokasi dan mengubah konsep angkringan dengan hanya menyediakan menu nasi, sate, dan ceker. Jenama pun berubah menjadi Sate Ratu.
Promosi Sate Ratu tergolong unik, di tahun pertama mereka membagikan tester kepada orang-orang yang berada di sekitar lokasi Sate Ratu. Menurut kalkulasi sebagian masyarakat, aktivitas ini cukup membebani biaya operasional dan tidak berdampak langsung. Bagaimana dengan Sate Ratu? Simak mulai halaman 18 di buku ini, termasuk strategi promosi setelah produk mereka mulai dikenal khalayak.
Hanya berjualan saja ternyata tak cukup. Harus ada upgrade di segala aspek, termasuk update ilmu dan pengetahuan. Salah satu upaya yakni ikut komunitas bisnis dan pelatihan, tentunya selektif memilih komunitas dan pelatihan. Salah satu manfaat bergabung dengan komunitas bisnis; seperti yang dijabarkan di halaman 45, adalah untuk berbagi pengalaman.Terutama supaya terhindar dari kejatuhan/kegagalan yang sama yang pernah dialami oleh sesama pebisnis.
Saya teringat dengan warung bakso yang dulu buka di dekat kampus ternama di Jogja, konon ramai pengunjung karena terkenal enak. Tapi pemiliknya angin-anginan, jika sedang tidak mood, libur jualan malah ditinggal mancing. Jenuh jualan bakso, ganti profesi menjadi tukang ojek lebih dari 3 tahun. Saat awal pandemi Covid-19, mencoba kembali berjualan dari nol. Awal buka cukup laris, rata-rata pembelinya adalah tetangga sekitar. Setelah jalan 3 bulan akhirnya menyerah lagi, warung di-oper kontrak dan sekarang berjualan ikan hasil memancing. Mungkin jika ia ikut komunitas, ia bisa lebih fokus membangun bisnis baksonya.
Mengikuti kompetisi juga memacu semangat dan menambah percaya diri lho, sekaligus bisa membangun koneksi. Sate Ratu telah mengikuti Kompetisi Kecap Bango, Penerus Warisan Kuliner 2018, Food Startup Indonesia 2018, dan Unilever Food Solution, Ngulik Rasa 2019; yang akhirnya keluar sebagai juara nasional kategori sate. Perjalanan mengikuti kompetisi tersebut tertuang di buku ini, saya yang membacanya terbayang kompetisi seperti di televisi hehehe.
Yang saya tuliskan di sini, hanya secuil dari puluhan atau bahkan ratusan faedah yang bisa diambil dari buku Sate ratu, Kok Bisa Gitu? Secara materi bisa dikatakan nyaris tanpa cela. Secara tulisan, ada beberapa kata yang harusnya pisah jadi tersambung atau sebaliknya, ada juga perubahan font di beberapa halaman terakhir yang membuat saya jadi agak aneh. Tapi tetap saja buku ini istimewa.