Lihat ke Halaman Asli

Silla Agustin

Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Gadis Anemia

Diperbarui: 31 Desember 2023   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semburat jingga melukis langit di kala sore itu. Menandakan bahwa sebentar Iagi, sang dewi malam akan datang menyapa. Sementara gadis bermata bulat dengan gamis semata kaki tengah melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya, ia menatap nanar ke arah luar jendela mengamati kendaraan yang saling berkejaran. Namun, daun bibirnya tak henti merapal zikir kepada Sang Pencipta. Meski tidak dapat terelakkan, itu semua hanyalah pelarian semata dari rasa cemas yang saat ini tiba-tiba datang mendera. Jaket rajut berwarna abu muda menyelimuti tubuhnya, menjadi penghangat dikala dingin menyapa. Sementara, wajahnya terlihat begitu pucat pasi tak seperti biasanya. Di bawah pelupuk matanya, terdapat lingkar cokelat tua. Saat ini, ia hanya bisa menghela napas yang kian menyesakkan. Entah apa yang ia pikirkan dan tengah ia alami, gadis itu enggan membagi cerita dengan yang lain.

Kembali, ia menghela napas berat, rasa cemas itu kembali mendekap hatinya. Bagaimana tidak, seharusnya sebelum azan magrib berkumandang ia harus sampai di rumah. Namun, meskipun sudah tiga jam lebih kendaraan beroda empat itu melaju, nyatanya ia tak kunjung sampai. Alhasil, kemungkinan besar ia akan sampai selepas magrib. Ah, tak sepantasnya ia menggerutu dalam hati seperti ini. Semua itu juga ada alasannya. Benar, karena tadi jalanan sangat padat dan ia terjebak macet.

la memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke kursi taksi. Entah mengapa, pusing yang ia derita sejak beberapa jam yang lalu tak kunjung hirap. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya mendadak buram sebab kepalanya yang berdenyut nyeri. Setelah beberapa menit kemudian, kesadarannya benar-benar temaram bersamaan dengan suara klakson yang menggema. 

"Neng, bangun sudah sampai." Telapak tangan yang menepuk bahunya pelan membuat gadis itu tersadar dari tidurnya. Ah, perasaan baru beberapa detik ia memejamkan mata, ternyata sudah sampai saja. Secepat itu 'kah?

la mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba untuk menetralkan pandangannya yang buram. Ah, pusing itu. la sangat membenci sensasi rasa sakit di kepalanya disertai dengan benda sekitar yang seperti berputar-putar. Tidak, ia jadi teringat naik komedi putar saja. Huhf!

"Ah, maaf Pak, saya tadi ketiduran. Ini uangnya, terima kasih." Supir taksi itu menanggapi perkataannya dengan menganggukkan kepala dan tersenyum simpul. Setelah mengucapkan ijab qabul dan taksi itu tak Iagi terlihat oleh manik indahnya, gadis itu terlihat berjalan tertatih-tatih dengan memegangi pelipis. Apakah sesakit itu? Bahkan wajahnya nampak begitu pucat. Kendati demikian, ia berpikir bahwa dirinya terlalu stres akibat tugas kuliah dan serta target pengumpulan skripsi. Acapkali ia yang dihantui dengan sidang skripsi menjadi momok di kala malam telah menelan indahnya senja

la berdiri tepat di ambang pintu rumahnya. Entah, ia tak memikirkan penampilannya seperti apa, kini yang menjadi fokus utamanya adalah rasa sakit ini semakin menjadi-jadi. Perlahan, ketukan pintu terdengar hingga dalam rumah, membuat sang tuan melangkah membukakan pintu. Dari balik daun pintu, terlihat sesosok wanita paruh baya yang mengenakan gamis semata kaki dipadukan hij ab instan berwarna hitam. Kerutan di wajah akibat termakan usia tidak memudarkan sedikitpun kecantikannya.

"Dewi, Nak. Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Wanita itu menodong anak gadisnya dengan sepucuk pertanyaan. Namun, bukan jawaban yang didapat melainkan senyum tipis. Tidak, lebih tepatnya ia meringis kesakitan.

Menyadari wajah putri semata wayangnya yang nampak pucat pasi dan napasnya yang mulai tersengal-sengal, Umi Maryam--ibu Dewi memegang dahi putrinya. Wajarlah, naluri beliau terbawa karena naluri keibuannya begitu kuat. Beliau sangat peka dan sensitif terhadap apa yang dihadapi dan dialami malaikat kecilnya yang kini telah beranjak dewasa. 

"Kamu sakit?" Dewi menggelengkan kepala secepat kilat. Tidak, dia berbohong. Sebenarnya saat ini Dewi tengah menahan rasa sakit yang mendekap erat kepalanya. Sakit, sungguh sakit. Sampai-sampai rasanya kepala itu hendak pecah. Jika ia mau, Dewi ingin menangis dan menumpahkan rasa sakit ini dalam pelukan bidadari tak bersayapnya. Namun, tidak mungkin karena Dewi bukan tipe anak seperti itu. la lebih baik menyembunyikan sakit, duka, luka, dan air mata daripada melihat orang tuanya ikut cemas karena hal sepele yang tak begitu penting.

"Benar, ya? Dewi tidak berbohong 'kan sama umi?" Gadis lugu itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline