Lihat ke Halaman Asli

Perihal Kita dan Takdir

Diperbarui: 31 Maret 2021   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini matahari begitu tampak malu untuk menampakkan diri. Justru pagi yang menyeruak membuat pagi itu terasa dingin.

Aku berada diantara lalu lalang para pengendara yang tampaknya sangat sibuk dengan rutinitasnya. Aku melihat tukang ojol yang sedang asyik melihat Hp nya. Aku rasa dia sedang menunggu penumpang. Sangat lucu bukan! Dan kini aku berada diantara mereka sembari membawa kantong plastik yang berisi beberapa
sayur dan buah.

Hari ini hari Weekend ku. Hari paling ditunggu semua orang. Dimana aku terbebas dari semua tumpukan kertas dimejaku. Setiap Weekend hal yang selalu ku lakukan adalah mematikan semua sambungan yang berhubungan dengan kerja, termasuk nomor atasanku yang sangat galak dan cerewet. Namun alhasilnya besoknya aku harus mempersiapkan telingaku untuk mendengarkan celotehannya

"Bla....bla....bla....bla....bla....bla...."

Sangat berisik bukan. Namun itu terdengar menjadi syair bagiku. Itu sedikit seputar kerjaku. Yah kenalkan aku Khafizah, usiaku 25 Tahun. Jangan tanyakan apakah aku sudah menikah?

Huh.... Itu adalah pertanyaan menyebalkan.

Bukan aku tak ingin menikah, tentu saja umurku sudah cukup untuk aku menjalani bathera rumah tangga. Namun saat ini aku sedang menuggu seseorang. Seseorang yang memintaku menuggunya 4 tahun silam. "Fiza, ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu.bolehkan?"

" Apa itu Mas Ahmad?" Tanyaku sambal asyik memakan es krim.

Fiza tau setelah lulus sekolah mas ingin melanjutkkan pendidikan ke Yaman , fiza kan sudah kalau mas ingin sekali melanjutkan pendidikanku disana." Tuturnya sambil menarik nafas panjang.

Aku yang mendengar penuturannya terdiam sejenak. Ia hanya melihatku terdiam, aku sedikit menunduk, entah kenapa aku merasa ingin sekali menangis. Aku menarik nafas panjang dan berusaha menatap wajahnya, kami beradu pandang. Aku tersenyum "Fiza ikut senang mendengarnya Mas, ini kan impianmu dari dulu" Ucapku tersenyum sumbang.

"Fiza apakah kau tidak merasa sedih sama sekali?" Tanya Ahmad heran melihat jawaban Mona.
"Tentu saja Fiza sedih, cuman Fiza tak berhak melarang impian seseorang karena keegoisan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline