Brain rot merupakan fenomena yang mencerminkan penurunan kondisi mental akibat konsumsi konten yang tidak bermakna, terutama di kalangan generasi muda. Di era digital saat ini, generasi Z dan generasi Alpha sangat terpapar oleh konten singkat dan viral yang lebih mengedepankan hiburan instan. Hal ini menyebabkan penurunan kemampuan berpikir kritis dan konsentrasi. Selain itu, meningkatnya risiko kecemasan dan depresi juga menjadi perhatian utama. Media sosial, seperti TikTok dan Instagram, berkontribusi besar dalam menciptakan budaya yang kurang mendukung perkembangan mental yang sehat.
Pengguna konten sering kali terjebak dalam siklus ketergantungan terhadap gratifikasi instan. Ketergantungan ini menghambat perkembangan kognitif yang seharusnya terjadi selama masa remaja. Menurut Simone Khn (2014) dalam penelitiannya yang berjudul "The Brain on Porn", menunjukkan bahwa paparan terus-menerus terhadap konten dangkal menyulitkan otak untuk memproses informasi dengan cara yang mendalam. Akibatnya, kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis menurun secara signifikan. Hal ini merupakan masalah serius yang perlu diatasi agar generasi muda dapat berkembang dengan baik.
Berdasarkan sumber dari Hootsuite (We Are Social), Slide.ID, dan DataReportal, pengguna media sosial aktif di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 139 juta pengguna angka ini tergolong sangat tinggi, setara dengan 49,9% dari total populasi yang ada. Rata-rata pengguna TikTok di Indonesia menghabiskan lebih dari 41 jam per bulan, menjadikannya yang tertinggi di dunia. Tingginya waktu yang dihabiskan untuk bermain media sosial menunjukkan bahwa brain rot bukan hanya fenomena global, tetapi juga masalah serius di tingkat lokal. Hal ini berdampak pada interaksi sosial di masyarakat, di mana pengguna lebih cenderung merasa terasing dari orang lain. Selain itu, perbandingan sosial yang tidak sehat semakin memperburuk kondisi mental individu.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh brain rot dan mulai mencari solusi. Edukasi tentang penggunaan media sosial yang sehat harus menjadi prioritas, terutama bagi anak-anak dan remaja dalam fase perkembangan mereka. Keluarga dan institusi pendidikan perlu mengambil peran aktif dalam membimbing generasi muda agar lebih selektif dalam mengonsumsi konten digital. Aktivitas alternatif yang menstimulasi kreativitas dan pemikiran kritis juga harus didorong. Dengan pendekatan ini, kita dapat membantu mereka menghindari dampak negatif dari media sosial.
Kesadaran kolektif mengenai pentingnya keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata sangat diperlukan. Masyarakat perlu memahami bahwa meskipun media sosial memiliki banyak manfaat, penggunaannya harus dilakukan dengan bijak. Dengan pendekatan ini, kita dapat mengatasi fenomena brain rot dan melindungi kesehatan mental generasi mendatang. Upaya bersama dari individu, keluarga, dan institusi pendidikan sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan positif. Dengan langkah-langkah tersebut, harapan akan masa depan yang lebih baik bagi generasi penerus dapat terwujud.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI