Bab 1
Sepuluh Murid Baru
Pagi itu hari pertama masuk SD. Aku duduk di depan sebuah kelas. Ayahku duduk di sampingku. Dibangku panjang itu ada anak dan orang tua yang mendaftar ke sekolah SD Muhammadiyah.Diujung kursi ada pintu yang terbuka. Mereka adalah K.A.Harfan Efendy Noer, kepala sekolah. Dan ibu N.A.Muslimah Hafsari atau Bu Mus seorang guru muda berjilbab.
Namun, Bu Mus terlihat gelisah dan cemas. Ia menghitung banyak siswa berulang-ulang, tetapi masih sembilan anak. Pada saat itu aku cemas dan semangatku untuk sekolah menurun. Ayahku pun begitu cemas.
Setelah menunggu sampai pukul sebelas lewat lima menit. Namun, ketika Pak Harfan mengucapkan Assalamu'alaikum, Trapani berteriak memanggil nama Harun. Harun pria jenaka yang sudah berusia lima belas tahun dan terbelakang mentalnya. Harun telah menyelamatkan kami dan kami bersorak gembira, karena SD Muhammadiyah tidak jadi di tutup.
Bab 2
Antedilivium
Bu Mus mendekati setiap orang tua murid di bangku panjang, berdialog ramah, dan mengabsen murid. Semua telah mendapatkan teman sebangku masing-masing. Aku duduk bersama Lintang, yang sekolah disini dan pulang pulang pergi setiap hari naik sepeda empat puluh kilo meter dari rumahnya.
Trapani bersama Mahar karena mereka paling tanpan. Trapani memandangi jendela,melirik kepada ibunya yang sekali-kali muncul di antara kepala orang tua lainnya. Borek dan Kucai di dudukkan bersama karena mereka sama-sama sudah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka Kucai dengan penghapus papan tulis.
Tingkah Borek diikuti oleh Sahara yang sengaja menumpahkan air minum A Kiong sehingga ia menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan dengan setan. Sahara gadis kecil yang berkerudung memang keras kepala sekali. Tangisan A Kiong merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu.
Bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun mendatang karena aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah pensil yang besar belum disurut. Salah satunya ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Sepertinya ayahnya keliru membelikan pensil itu.