Lihat ke Halaman Asli

Ada Kesenjangan antara Dokter, "Koder" Verifikator dan Tarif INA CBG's

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Usia BPJS kita masih 10 bulan di akhir Oktober ini. Saya mencoba berpendapatsebagai dokter yang bekerja di RS Pemerintah tentang program BPJS Kesehatan yang belum genapberusia satu tahun.

Rangkaian proses klaim RS terhadap BPJS ada dalam 4 serial penting,yakni Dokter,kemudian Koder di RS (tenaga administrasi di RS),verifikator (petugas wakil dari BPJS) dan tariff INA CBG’s.

Dokter dalam menegakkan diagnose dibekali segudang ilmu, yang paling fundamental adalah proses terkait antar gejala dan tanda penyakit, yang dikenal sebagai ilmu patofisiologi (pola pikir yang runtut, terkait sebab akibat).

Koder; petugas administrasi (di bangsal RS,bukan trenaga medis) yang memasukkan data yang ditulis dokter di blangko Rekam Medik (dengan segala masalahnya, yakni para koder tidak faham istilah medis, tulisan dokter tidak terbaca,dsb).

Verifikator : karyawan BPJS di RS yang mengoreksi “karya” dokter di Rekam medik disesuaikan dengan kode yang ditulis koder,harus sesuai ICD X (international Classification of Diseases) edisi X,yang mayoritas bukan dokter tetapi tenaga kesehatan baik perawat maupun SKM yang sudah dilatih BPJS.

INA-CBG merupakan sebuah singkatan dari Indonesia Case Base Groups yaitu sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah, alias paket diagnose dokter terhadap pasien yang dilayaninya,baik rawat inap maupun rawat jalan.INA CBG disusun pakar dari kalangan medis atas permintaan Kemenkes.

Kesenjangan terjadikarena perbedaan kemampuan proses piki r3 rangkaian posisi tsb dan juga tariff INA CBG’snya. Contoh nyata :

1.Pasien dengan stroke perdarahan karenahipertensi sangat parah,ini diagnose dokter, oleh koder ditulis benar tapi verifikator lebih mengedepankan hipertensi sangat parah baru kemudian stroke perdarahan. Jika di masukkan tariff INA CBG’s,diagnose dokter tariff INA CBG’s nya lebih rendah daripada opini verivikator. Walau secara medis, stroke perdarahan terjadi sebagai akibat hipertensi sangat parah, sesuai ilmu patofisiologi.

2.Pasien dengan stroke non perdarahan, danpengerutan otak (atrofi cerebri), diagnose dokter yang sudah benar sesuai ICD X ,oleh INA CBG’s atrofi cerebrinya tidak dihitung dan tidak perlu ditulis. Disini jelas ilmu dokter tsb “disunat” sebagian demi paket tariff INA CBG’s. Jelas hal ini jika terjadi pada banyak diagnosa doketr akan mengurangi data ilmiah bagi para mahasiswa, juga data statistic RS, karena Rekam Medik ditulis kurang lengkap.

3S Seksio saesaria karena riwayat saesar sebelumnya, ketentuan INA CBG’s karena riwayatsaesar sebelumnya tidak perlu ditulis. Seperti contoh nomor dua, jika tetap ditulis (dokter berkeras) maka klaim tidak bisa dibayarkan.

4.Pneumonia (infeksi paru) menyebabkan sepsis, cukup ditulis sepsis, karena tarifnya lebih mahal daripada sekedar pneumonia.Ilmu Patofisiologi dokter harus kalahkarena tariff klaim RS.

5. . BBLSR (berat badan lahir sangat rendah) dan asfiksi (sesuai ICD X) ketentuan verifikator asfiksi dicoret diganti dengan distress respirasi,yang sekali lagi ilmu patofisiologi dokter harus kalah.

6.Anemia karenaCRF (chronic Renal Failure/gagal ginjal kronik) oleh verifikator sesuai INA CBG’s yang dibayar cuma anemianya ,tak perlu ditulis CRF.

Saya pikir ini masalah yang cukup serius dan perlu evaluasi terus menerus tentang BPJS, karena banyak diagnose dokter yang ditulis lengkap, tapi tidak dimaknai materi sehingga tidak perlu ditulis lengkap bahkan kalau perlu diubah karena tariff INACBG’s. Dokter biasanya tidak akan mau merngubah diagnose pasien hanya karena klaim BPJS, asuransi milik Pemerintah,yang tentu akan terjadi masalah terus menerus di RS.Belum lagi untuk kepentingan penelitian mahasiswa kedokteran dan data statistic RS yang akurat.

Sudah saatnya dokter sebagai klinisi tidak direpotkan urusan klaim INA CBG’s yang merupakan urusan menejemen. Jadi para pakar pun perlu melihat kenyataan lapangan terutama terhadap para verifikator yang latar belakang ilmunya berbeda dengan dokter.Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline