Lihat ke Halaman Asli

Aku Seorang Pelacur

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nirma berdiri sambil sedikit menggigil di gang yang cukup gelap. Malam yang tak berbulan, menakutkan, diam dan tak bergerak, hanya sesekali berisik oleh pekikan beberapa wanita. Di kejauhan, ada lampu berkelap-kelip bersumber dari mobil-mobil yang tengah bergerak, dan siluet orang-orang yang terlambat pulang ke rumah atau pun orang-orang yang berkeliaran tanpa tujuan di keheningan kota, muncul dan menghilang.

Kaki telanjang yang dingin, menyeret satu sama lainnya. Namun, upaya mencari kehangatan sia-sia, dingin itu sudah merayap merasuki tubuhnya. Perutnya sakit karena kelaparan dan matanya seolah kabur. Napas tak beraturan, jantungnya berdebar keras. Dia tampak seperti seorang gadis berusia sekitar 15 atau 16 th, beberapa tanda-tanda naif kewanitaan terlihat jelas di tubuhnya. Dia dihukum karena kejahatan, kabur dari rumah dan sekarang? Seorang gadis itu tengah berjuang untuk bertahan hidup dalam dingin dan kelaparan.

Berdiri dijalan sendirian, ingatannya terhuyung-huyung kembali ke tempat di mana ia dilahirkan, di mana ibunya selalu ada untuknya. Kelaparan ini terlalu asing, berbeda ketika dia berada di rumah bersama ibunya, di bawah atap yang hangat, dan ia memiliki tempat tidur, meskipun tidak mewah, namun dia bisa mengklaim sebagai miliknya. Perutnya tak pernah kosong, karena ibunya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Nirma, ya gadis itu bernama Nirma.

Nirma tidak pernah tahu ayahnya. Ketika ia masih kecil, ia sering bertanya pada ibunya tentang ayahnya, dan ibunya hanya akan menyulap beberapa cerita atau kadang-kadang pura-pura tidak mendengar sama sekali. Tapi itu tidak cukup untuk memenuhi jawaban pikiran Nirma. Dia penasaran. Ketika ia melihat teman-temannya yang lain bersama ayah mereka, ia sering meluru menuju ibunya dan bertanya lagi, tapi semua sia-sia. Sebaliknya, ibunya menceritakan kisah-kisah lain yang lucu dan membuatnya segera melupakan pertanyaannya tadi.

Suatu hari ketika Nirma hendak pergi ke sekolah pada hari pertama. "Ibu", katanya sambil terisak, "Aku tidak ingin pergi, aku tidak ingin ibu meninggalkan Aku."

Ibunya memeluknya dan berbisik lembut di telinganya, "Jangan menangis malaikat kecilku, Ibu tidak akan meninggalkanmu. Ibu akan di sini menunggumu. Di sekolah, kamu akan bertemu banyak teman, kamu dapat bermain dengan mereka. "

Setiap hari ibunya menyisir rambutnya hingga rapi, mengikatnya menjadi seperti ekor kuda, mencuci muka, tangan dan kakinya, menyiapkan makanan dan menyiapkan semua buku sekolahnya. Setiap hari ibunya mengantar Nirma ke sekolah dan menjemputnya pulang. Sungguh, kasihnya begitu besar.

Waktu berlalu, dan Nirma tumbuh menjadi anak yang cantik. Ada kebahagiaan murni dalam hidupnya, tidak pernah dia merasakan malam dingin yang menusuk, karena ada kehangatan sinar matahari abadi dalam hidupnya. Sampai suatu hari ia jatuh sakit, dia mengalami demam yang cukup parah dan ia hampir tidak bisa makan dan berjalan. Kedinginan yang ia tidak pernah rasakan sebelumnya, membuat tubuhnya mati rasa, sangat mirip dengan dingin yang ia rasakan sekarang. Ibunya dengan sabar merawatnya siang dan malam, menghibur setiap saat, sampai Nirma sepenuhnya pulih.

Di gang gelap di mana ia berdiri menggigil, air mata nostalgia menggenangi kedua matanya, mengingat kehangatan kepedulian sang ibu padanya. Secara naluriah ia meraih tangan ibunya, tapi fakta bahwa ibunya sudah meninggal menghantuinya lagi dan dia meringis perih memikirkan hal itu. Dia kedinginan dan kelaparan, tapi tidak ada lagi tangan yang menenangkan dan menghiburnya lagi. Hatinya berdarah. Sekuat apapun mencoba, ia tidak bisa mengejar memori yang pergi, napas panik tidak mampu untuk menenangkan hati yang ketakutan. Dia telah kehilangan ibunya, dan sekarang dia menyadari betapa tak berdaya ibunya, dia menyadari pengorbanan seorang ibu untuk menjaga bayinya, malaikatnya.

Nirma pun tumbuh makin besar, dan hal-hal yang tidak biasa mulai ia sadari. Tak pernah ada kerabat atau tetangga yang mengunjungi rumahnya. Ibunya lebih memilih untuk tetap menyembunyikan. Nirma hanya memiliki sedikit teman. Ketika dia berada di sekolah atau diluar sekolah, dia merasa seolah-olah orang lain melihat dia seperti mengejek. Ibunyj pun tidak pernah mendapat undangan dari tetangga mereka ketika mereka sedang merayakan acara apapun. Nirma pun hanya akan menonton perayaan dari kejauhan, kerinduan untuk berada di sana, merayakan dengan orang lain, tertawa dan bersorak-sorai, dan itulah yang dia bayangkan. Namun, tak pernah terwujud.
"Ibu, mengapa mereka tidak pernah mengundang kita dalam acara pernikahan? "Nirma bertanya pada ibunya.

"Anakku, jangan khawatir. Mungkin mereka hanya iri padamu dan tidak ingin dekat, karena kamu jauh lebih cantik dari mereka,"ibunya mencoba untuk menghiburnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline