Dikarenakan prevalensi demam berdarah yang sangat tinggi, Kementerian Kesehatan memperkenalkan teknologi inovatif yaitu nyamuk Wolbachia untuk mengendalikan penyebaran demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia. Mulai tahun 2022, uji coba distribusi nyamuk bionik atau nyamuk yang mengandung Wolbachia dilakukan di Kota Yogyakarta dan Provinsi Bantul.
Nyamuk Wolbachia sendiri merupakan nyamuk yang terinfeksi bakteri Wolbachia, baik secara alami maupun melalui manipulasi genetik Infeksi. Selain di Indonesia, teknologi ini juga digunakan di sembilan negara lain dan hasilnya terbukti efektif mencegah demam berdarah. Negara yang sudah menerapkan adalah Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Meksiko, Kiribati, Kaledonia Baru, dan Sri Lanka.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menuturkan bahwa tingkat kejadian Demam berdarah pada Kota Yogyakarta menurun. "Jumlah kasus di Kota Yogyakarta pada bulan Januari hingga Mei 2023 dibanding pola maksimum dan minimum di 7 tahun sebelumnya (2015 -- 2022) berada di bawah garis minimum," Jelasnya.
Teknologi Wolbachia sebagai project baru di Indonesia, akan dilaksanakan di lima kota antara lain Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang, dan Kota Bontang, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1341 untuk memperkenalkan Wolbachia sebagai inovasi pencegahan demam berdarah.
Cara kerja Wolbachia ini akan melumpuhkan virus demam berdarah di tubuh nyamuk Aedes aegypti. Ketika nyamuk betina Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan yang tidak mengandung Wolbachia, maka semua telurnya akan mengandung Wolbachia.
Meskipun demikian, masyarakat tidak boleh hanya semerta-merta mengandalkan teknologi ini saja tetapi juga dihimbau untuk menerapkan cara pembasmian demam berdarah dengan 3M (Menguras,Menutup dan Mengubur).
Namun, disisi lain penerapan teknologi nyamuk Wolbachia terdapat pendapat kontra yang ditolak oleh masyarakat bali dikarenakan adanya kekhawatiran pada masyarakat dan kurangnya pemahaman mengenai risiko dan implikasi penggunaan teknologi tersebut.
Alasan umum penolakan mungkin mencakup masalah seperti keamanan lingkungan, ketidaknyamanan terhadap rekayasa genetika, atau ketidakpercayaan terhadap efektivitasnya. Sehingga perlu diadakan edukasi dan sosialisasi pada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H