KEHENINGAN pecah ketika perang itu terjadi. Di bantaran sungai yang tenang, kedua kubu saling menyerang, melepaskan tembakan. Suara ledakan menggema. Sayang, tak ada yang mengenai sasaran. Hanya suara teriakan, tepuk tangan, dan riuh yang terdengar.
Tak terdengar suara takbir dari corong meunasah. Malam lebaran kedua, 1432 Hijriah, awal September 2011. Malam masih terlalu muda. Bintang bertaburan, hanya sabit kecil yang tampak di ufuk barat.
Malam itu, Krueng Baro, di Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie, menjadi saksi “peperangan rakyat”, antara dua kubu, dari dua desa yang dibatasi sungai (krueng-red), sekitar jarak lima meter.
Begitulah, “peperangan”, yang telah menjadi pesta rakyat di beberapa kecamatan di Pidie. Permainan berperang antara dua kubu dengan meriam karbit dan meriam bambu ini telah menjadi tradisi, yang dimainkan setiap malam Lebaran Idul Fitri.
Suara yang dihasilkan oleh meriam karbit memang luar biasa. Seperti ledakan bom saat konflik mendera Aceh. Setiap meriam diletuskan, air sungai yang hening ikut dibawa dorongan hingga beberapa meter. Api besar memerah keluar dari corong meriam.
***
Di atas sebuah toko yang belum rampung, beberapa pemuda tengah mempersiapkan serangkaian kembang api yang dibungkus di tengah besi pondasi. Tak lama, lampu sekitar masjid Desa Ulee Tutu, Kecamatan Delima, tersebut dimatikan. Tanpa aba-aba, salah seorang dari mereka membakar kembang api tersebut. Dan, suara ledakan menggema silih berganti. Cahaya terang dengan percikan api membuncah, mengisi malam lebaran tersebut.
Itu adalah serangkaian pembuka pesta rakyat, Teut Karbet, di Desa Ulee Tutue Raya, Kecamatan Delima. Malam (1/9) itu, bertepatan dengan malam lebaran kedua, saat acehkita.com mengunjungi kecamatan tersebut, suasana begitu ramai. Seribuan lebih masyarakat mamadati arena “perang”. Membuat kemacetan panjang di desa yang dekat dengan bibir sungai itu.
Arena perang terletak tepat di bibir Krueng Baro, yang memisahkan Desa Ulee Tutue dan Garot Cut, Kecamatan Indrajaya. Sebuah panggung dari rangkaian bambu ukuran hampir sebesar lapangan tenis terpancang menghadap ke sungai. Sedang desa sebelah juga ada arena yang sama.
Dari atas panggung, berjejer meriam bambu. Beberapa anak kecil duduk di atasnya. Mereka terus meniup dari sebuh lubang kecil. Asap mengepul dari ujung bambu. Kemudian, terdengar suara ledakan yang juga menimbulkan gemercik api dari ujung bambu. Tak terlalu besar.
Di bawah panggung itu, beberapa drum minyak, juga menghadap ke sungai diatur berjejer. Jumlah semuanya, ada 10 unit. Panjangnya beragam. Dari satu drum, hingga tiga drum yang dirangkai menjadi satu unit.
“Suara yang dihasilkan sampai puluhan kilometer. Itu bergetar kuat, karena ada meriam yang ditanam dalam tanah,” kata Iwan (34), warga setempat.