Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Taman Siswa

Diperbarui: 30 Oktober 2015   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Taman siswa tidak hanya sebatas nama. Ia juga secara tidak langsung mengonsepsikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan dan membahagiakan. Akhir-akhir ini konsep tersebut, kita tahu, sudah dibakukan dan diformalkan dalam sebuah aturan yang kaku.

Kurikulum yang menuntut guru secara formal menyusun RPP, Silabus, Program Semester, Program Tahunan. Tapi di sisi lain hal tersebut telah menjebak cara berpikir guru dalam menjalankan pembelajaran. Guru menjadi pendidik yang mengonsepsikan pendidikan sebagai aktivitas formal. Guru dalam proses belajar mengajar dalam kelas selalu dibingkai dengan pemahaman yang formalistik. Kadang di sana pendidikan terkesan mengerikan dan siswa merasa ketakutan.

Tak jarang guru pada akhirnya mengambil jalan pintas mengejar target untuk menyelesaikan RPP dan Silabus. Meski dengan langkah itu, seorang guru mengabaikan proses dalam kelas. Model atau kurikulum pendidikan akhirnya memengaruhi  guru dan siswa yang menganggap sekolah sebagai tempat formal. Bukan sebagai taman, suatu tempat yang rindang nan menyenangkan.

Frasa “Taman Siswa” mula-mula diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara yang mendirikan lembaga pendidikan bernama Taman Siswa pada tahun 1922. “Taman” berkonotasi sebagai tempat menyenangkan. Sementara “siswa” adalah murid yang berproses dan berkembang dalam sebuah lembaga yang disebut sebagai sekolah.

Konsepsi “Taman Siswa” sebagai gagasan dari seorang Ki Hajar Dewantara yang dikembangkan oleh Suwardi setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India/Benggala). Ada sebuah konsep yang ditanamkan sebagai nilai dalam sekolah “Taman Siswa” pada waktu itu. Di mana sekolah sebagai tempat siswaa berproses harus menciptakan suasana yang menyenangkan.

Dengan konsep tersebut guru ditutntut untuk membawa siswa ke dalam kondisi yang nyaman dan menyenangkan. Konsep semacam ini ditekankan pada guru dalam mendidik harus mengorientasikan pembelajaran ke arah yang menyenangkan. Pembelajaran semacam itu juga tidak hanya ditekankan pada prinsip model pembelajaran atau kurikulum, melainkan suatu metode pembelajaran di dalam kelas.

Konotasi sekolah sebagai taman siswa harus mampu melambari tenaga pendidikan untuk memperkokoh pondasi dan cara berpikir terhadap sekolah tempatnya mengajar. Meski dalam impelementasinya, siswa tak mudah ditelaah. Keinginan dan karakteristik siswa akan ditemui bervariasi. Karena itu, kita tahu, filosofi sekolah sebagai taman bagi siswa sampai saat ini masih dipertahankan. Meski di lapangan, guru tidak mudah mempraktikkan metode tersebut pada siswa.

Tapi sekolah memang harus diredefinisi sebagai taman, sehingga yang menjadi pusat segala perilaku adalah kesadaran. Bukan malah sebagai penjara yang identitik dengan hukuman dan tekanan. Lantas bagaimana merekonstruksi konsep “Taman Siswa” tersebut dalam lembaga pendidikan kita saat ini?

Kelas yang Membahagiakan

Pendidikan Taman Siswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam dengan memperhatikan alam semesta, Kebudayaan diwujudkan dalam teori Trikon, Kemerdekaanyang memperhatikan potensi dan minat maing-masing individu dan kelompok, Kebangsaan akan berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku, dan Kemanusiaan yang menjunjung harkat dan martabat setiap orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline