Dapat diamati, output pendidikan kita cenderung tak lagi dianggap bermanfaat bagi masyarakat. Sebab banyak orang terdidik yang kemudian berlaku di luar dari nurani kemanusiaan dan tak memiliki kepekaan terhadap lingkungan sosial. Sedangkan di banyak ruang, partisipasi dari output pendidikan kita sangat dibutuhkan, tapi pada akhirnya kerap mengecewakan.
Apa yang salah dari output pendidikan kita yang tak punya risi jika melakukan laku yang merugikan masyarakat? Pada akhirnya kita kembali lagi membahas mental dan nurani. Banyak kalangan menilai bahwa mental manusialah yang paling utama memperbaiki keterpurukan kita.
Dan nurani diasah dalam proses pembelajaran di sekolah. Tapi apakah proses pembelajaran di sekolah telah mengutamakan nurani? Pendidikan bagaimana yang kemudian menghantar siswa untuk memiliki kepekaan rasa atau nurani itu tadi? Jika dengan olahraga bisa menyegarkan sekaligus menyehatkan tubuh. Tentu, dengan olahrasa kita bisa menyegarkan sekaligus menyehatkan rasa atau nurani yang mampu mengahantar seseorang untuk memiliki jiwa besar dan kepekaan nurani terhadap sesama manusia. Sebagaimana tujuan pendidikan kita untuk memanusiakan manusia.
Pendidikan Sastra
Saidiman Ahmad, dalam artikelnya di Kompas 12 Mei 2012, mengutip isi “The Republic”, Plato, seorang filsuf Yunani kuno pernah memaparkan dan menawarkan suatu konsep Negara ideal. Salah satu Negara ideal yang dibayangkan Plato, selain dipimpin oleh seorang filsuf, adalah adanya serdadu atau tentara yang beradab. Keberadaban serdadu selalu dipenuhi melalui pendidikan sastra yang dekat dengan filsafat.
Pada masa itu, sastra mencakup keseluruhan kesenian. Para serdadu diwajibkan menerima pendidikan sastra dan musik. Ketentuan ini diberlakukan untuk membedakan tentara Negara dari beradal pengganggu.
Pengetahuan tentang sastra akan menjadikan tentara memiliki kecerdasan yang pada akhirnya menumbuhkan sikap cinta Negara. Cinta kepada Negara adalah suatu sikap yang melampui cinta kepad diri sendiri. Patriotisme hanya mungkin muncul dari mereka yang berpengetahuan dan memiliki kedalaman jiwa. Sastra menyediakan itu semua.
Ajakan Plato agar para tentara mempelajari sastra muncul 3.000 tahun silam. Namun ajakan itu tetap terasa relevan hingga kini. Tentara adalah kelompok masyarakat yang diberi kekuasaan memegang senjata. Betapa mengerikan jika kelompok ini tak memiiki kedalaman jiwa dan patriotisme. Betapa mengerikan jika kelompok ini dipenuhi angkara murka dan kebodohan. Mereka harus dibedakan dari berandal karena sangat berbahaya jika mereka menjadi berandal bersenjata.
Jika para tentara dibekali dengan sastra untuk mengasah nurani dan menumbuhkan patriotisme. Kenapa tidak, hal tersebut juga diterapkan pada siswa dalam proses pembelajarannya? Tentu ajakan mempelajari sastra tak melulu kepada tentara. Seluruh lapisan masyarakat sepatutnya juga memiliki kedalaman jiwa dan patriotisme.
Di tengah moral para output pendidikan yang tak menjamin kepekaan nurani itu, muncul asumsi bahwa sastra memang kerap dianggap remeh dan tak bermanfaat jika dibandingkan dengan mata pelajaran sains dan ilmu pengetahuan lainnya. Padahal dengan sastralah segala ilmu pengetahuan itu ditopang. Lewat satra pula kita bisa mengembalikan tujuan ilmu pengetahuan itu untuk kemanusiaan.
Ada kata-kata seorang pakar pendidikan, “It takes character to disagree graciousl. It takesn education to fight ideas with ideas (dibutuhkan karakter untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan santun. Dibutuhkan pendidikan untuk melawan ide dengan ide). ketika ilmu pengetahuan membutuhkan kesantunan untuk dipraktikkan, maka sastralah yang akan mengasah para intelektual itu untuk berlaku santun terhadap sesama.
Evaluasi Pembelajaran Sastra
Beragam polemik perihal kurikulum dalam sistem pendidikan kita atau tumbuhnya beragam kelas-kelas khusus dalam pendidikan seperti RSBI atau BIMBEL menunjukkan bahwasanya kita sudah tak percaya akan proses pendidikan kita sendiri. Atau barangkali kita terlalu melihat permasalahan yang dihadapi oleh output pendidikan selama ini terletak pada penguasaan terhadap kuantitas ilmu-ilmu pasti.
Tapi, permasalahan yang selama ini kita hadapi tak lain perihal output yang tak mampu memperaktikkan ilmu pengetahuannya secara santun kepada masyarakat. Hal tersebut dapat diamati dari fenomena seperti ilmuan sains lebih memilih hanya berdiam di jeruji sekolah ketimbang membuat pengembangan atau eksperimen untuk memudahkan masyarakat. Atau memillih menciptakan penemuan yang malah merusak budaya masyarakat. Para politisi mulanya diproses untuk memperbaiki hajat hidup orang banyak malah dominan berlaku curang dan merusak hajat hidup masyarakat.
Dari itulah pentingnya olahrasa dengan sastra. Tapi sekali lagi sastra malah dalam posisi minor. Banyak guru sastra tak membaca sastra, apalagi bisa menulis sastra. Sehingga pembelajaran yang diterapkan hanya memanjakan otak anak didiknya dengan menghapal nama dan tahun para sastrawan menciptakan karyanya. Mereka tak pernah didorong untuk membaca sastra sebanyak mungkin. Apalagi dilatih untuk menulis puisi, menyusun cerita pendek.
Alhasil, peserta didik hanya tahu nama dan karya pengarang yang dimasukkan dalam buku mata pelajaran sastra. Para anak didik tak pernah tahu mengapa ia mempelajari sastra dan bagaimana ia harus mengapresiasi karya sastra. Mereka tak pernah diajarkan bagaimana menjadi seorang apresiator sastra. Sehingga jenis kepenulisan sastra seperti puisi hanya dipahami sebagai permainan kata-kata indah dan cerpen dipahami seperti dongeng atau cerita sedih dalam sinetron.
Sastra yang pada dasarnya bertujuan mengolah rasa akhirnya dipahami seperti pelajaran sejarah atau biografi yang selesai hanya dengan menghapal. Padahal sastra lebih dari itu, selain olahrasa juga sebagai medium merekam jejak-jejak kebudaayaan bangsa. Tak heran kemudian output yang berhati kaku semakin kaku, pikiran anak didik yang kalut menjadi semakin tak lurus dan pada akhirnya perkelahian antar siswa terjadi di mana-mana, kerusuhan selalu menjadi berita utama.
Oleh sebab itu, dalam pendidikan kita penting jika sastra menjadi rumah bagi segala ilmu pengetahuan. Tak lagi menganggap sastra remeh dan menjadikannya sebagai pelengkap pelajaran di sekolah. Atau hanya sebagai mata pelajaran tambahan jika ada waktu lengang.
Barangkali itulah sebabnya mengapa seorang ilmuan fisika, Albert Einstein, mewanti-wanti dalam kata-katanya yang kerap kita dengar, “Imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan”. Tapi barangkali ilmuan besar itu terlalu berlebihan dalam membandingkan antara ilmu pengetahuan dan imajinasi. Tak ada yang lebih penting dari keduanya, hanya saja imajinasi yang menjadi ruh dari sastra itu adalah rumah bagi segala ilmu pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H