Reaktor nuklir serta peran dalam menghasilkan energi
Fisi nuklir terjadi di dalam reaktor nuklir, di mana inti atom berat dibelah oleh tumbukan neutron. Proses ini menghasilkan energi yang signifikan, inti atom yang lebih ringan, serta neutron tambahan yang dapat memicu reaksi lebih lanjut. Selain itu, foton dalam bentuk sinar gamma juga dipancarkan sebagai hasil sampingan dari reaksi tersebut. Dengan demikian, proses fisika kompleks dalam reaktor nuklir tidak hanya menghasilkan energi, tetapi juga berbagai komponen penting dalam reaksi nuklir. (Tadeus, dkk., 2015)
Dalam konteks ini, cara kerja reaktor nuklir sering dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional, yang juga menghasilkan energi tetapi dengan metode yang berbeda. Reaktor nuklir memanfaatkan dua jenis bahan bakar utama: bahan fisil seperti Uranium 235 dan Plutonium 239, serta bahan fertil seperti Uranium 238 dan Thorium 232. Sebaliknya, pembangkit listrik konvensional menggunakan bahan bakar fosil, yang meskipun efektif dalam menghasilkan energi, juga berkontribusi pada pencemaran udara dan polusi lingkungan. Perbedaan mendasar dalam bahan bakar ini memperlihatkan kompleksitas dan potensi risiko yang terlibat dalam operasi reaktor nuklir.
Tragedi nuklir Fukushima Daiichi
Kecelakaan parah di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi pada 11 Maret 2011 menunjukkan dampak menghancurkan terhadap kehidupan sehari-hari penduduk setempat, yang menyoroti kekurangan dalam sistem keselamatan reaktor. Insiden ini disebabkan oleh pelepasan bahan radioaktif yang serius, menyebabkan kontaminasi lingkungan meluas dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Dampak ini memperjelas kebutuhan mendesak untuk memperbaiki penanganan kecelakaan nuklir dan kesiapsiagaan darurat. Analisis mendalam mengungkap kelemahan sistem keselamatan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), yang menggarisbawahi pentingnya perbaikan prosedur keselamatan dan penanganan darurat.
Kegagalan institusi di Jepang, yang menjadi penyebab utama kecelakaan nuklir besar lainnya seperti Three Mile Island dan Chernobyl, berfungsi sebagai peringatan global. Kesamaan antara bencana Chernobyl dan Fukushima, seperti jumlah radiasi yang dilepaskan dan kontaminasi jangka panjang, menyoroti kegagalan sistematis dalam menangani risiko dan mengutamakan kepentingan politik serta ekonomi di atas keselamatan. Pengalaman ini menggarisbawahi perlunya akuntabilitas yang lebih baik dan kesiapan yang lebih baik dalam mengelola bencana.
Meskipun ada klaim bahwa pemerintah, regulator, dan industri nuklir telah belajar dari pengalaman ini, kegagalan dalam mengatasi masalah terus terjadi. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai keandalan verifikasi oleh Interanational Atomic Energy Agency (IAEA) dan mendorong pencarian alternatif yang lebih aman. Teknologi energi terbarukan, yang terbukti efektif dan terus berkembang pesat, menawarkan solusi yang lebih aman dibandingkan reaktor nuklir berisiko. Selama periode 2008 hingga 2012, kapasitas energi angin dan surya baru yang dipasang jauh melebihi kapasitas reaktor nuklir baru, menunjukkan pergeseran menuju sumber energi yang lebih bersih dan aman.
Evaluasi keselamatan dan keamanan reaktor nuklir
Peristiwa Fukushima Daiichi juga menekankan pentingnya kesiapan menghadapi gangguan alam ekstrem. Pada 11 Maret 2011, gempa bumi berkekuatan 9 MMI memicu tsunami setinggi 14 hingga 15 meter , merusak infrastruktur dan menyebabkan shutdown otomatis pada seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima. Kerusakan jaringan listrik dan banjir menyebabkan pemadaman total, memutuskan pasokan energi untuk sistem keselamatan dan mengakibatkan kegagalan pendingin. Ini menyebabkan peningkatan suhu drastis dan kerusakan parah pada reaktor, memperjelas kebutuhan untuk penanganan kecelakaan yang lebih baik dan sistem kesiapsiagaan yang terencana.
Penanganan kecelakaan parah dan perencanaan kedaruratan perlu dipersiapkan secara menyeluruh baik di dalam maupun di luar area Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Kemampuan merespons darurat harus terus dievaluasi dan ditingkatkan, dengan manajemen krisis yang memastikan pengambilan keputusan cepat dan komunikasi efektif. Pelajaran dari Fukushima Daiichi memberikan panduan penting untuk mempersiapkan diri menghadapi gangguan alam ekstrem di masa depan.
Antisipasi awal terhadap kecelakaan harus melibatkan peningkatan dan penerapan budaya keselamatan di semua tingkat manajemen. Fungsi regulator harus dijalankan secara independen dan dapat dipertanggungjawabkan, sementara manajemen keselamatan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) perlu dievaluasi dan diterapkan dengan konsisten. Negara yang memulai penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) harus mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten, bekerja sama dengan komunitas internasional, dan memastikan budaya keselamatan serta standar keselamatan terus dikembangkan dan diperbarui.
Penanganan keselamatan dan keamanan reaktor nuklir di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) memiliki tugas untuk melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir. Terdapat tiga pilar pengawasan yang dilakukan oleh BAPETEN, yaitu: