Lihat ke Halaman Asli

Nanda Dyani Amilla; Janganlah Plagiat Lagi!

Diperbarui: 24 Agustus 2016   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah dikecam, dibuli habis-habisan di berbagai media sosial, namun anak yang bernama Nanda Dyani Amilla (Nanda) ini juga belum insaf. Lagi-lagi ia mengulang kebiasaan buruknya, tulisan beliau dimuat di Tribun Bone (Sulawesi Selatan) hari ini “Rasulullah Sebenar-benarnya Idola” yang diplagiat dari blog pribadi Ibnu Hibban “The Real Idol, The Real Uswah.” Buktinya akan saya tunjukan di akhir postingan tulisan ini.

Saya juga termasuk salah satu penulis yang sering mengirim artikel (opini) ke harian tribun Bone. Namun yang menjadi prioritas saya, justru dengan harian yang terkesan gampang memuat artikel/opini dari beberapa penulis, saya amat teliti dalam mengirim tulisan ke harian tersebut.

Jangankan soal tulisan yang plagiat atau bukan, yang paling saya takutkan kalau kebiasaan media cetak, langsung saja memuatnya, biasa ada yang salah ketik, editor dari harian tersebut tidak pernah memperbaikinya. Jadinya apa? Yang disalahkan pasti penulisnya, bukan korannya. Saya tidak mengerti dimana rasional berpikirnya Nanda, anak muda populer, sudah banyak menang lomba menulis, sudah punya karya yang bernama buku, tetapi masih saja hobi mencomot di sana-sini tulisan orang lain, diubah beberapa kata dan kalimatnya, dimodifikasi, jadilah lagi tulisan yang seolah-olah hasil pikirannya sendiri.

Soal amat benci pada perilaku “plagiat” yah…! Saya juga amat risih dan terkadang jengkel dengan mereka yang hobinya mengambil tulisan orang lain, tanpa mencantumkan sumber dan nama tempat ia mengutip. Sudah banyak artikel saya diplagiat, jangankan mereka yang mengatasnamakan individu, lembaga sekelas KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) saja sudah pernah memposting artikel saya di webnya, yang dikopas dari web: damang.web.id. Namun bersamaan dengan waktu, saya merasa tidak ada gunanya lagi berkoar-koar, melampiaskan kekesalan di berbagai laman media sosial, orang dan lembaga yang saya marah-marahi juga tidak menindaklanjutinya. Karena itu, kadang saya lebih memilih, diam dan membiarkan perilaku mereka.

Diam tapi tetap saya mengutuknya dalam hati. Siapalah penulis yang tak marah, kalau karyanya yang dengan seenaknya orang lain kutip, padahal ia sudah berdarah-darah dalam menyelesaikan tulisannya? Siapalah yang tidak marah kalau karya milik pribadinya sendiri, dicaplok oleh orang lain, padahal ia sudah menghabiskan banyak waktu dan biaya,  membaca sejumlah refrensi? Bahkan bagi perokok berat, harus habis beberapa bungkus, lalu tulisannya bisa selesai. Bagaimana dengan kasus nanda? Mungkin juga dia harus menghabiskan banyak kuota online, lalu bisa menyelesaikan tulisannya.

Semua penulis senior tidak dapat menimpali, bahwa awalnya untuk menjadi penulis itu bukan hal yang gampang. Jangankan mengisi kertas kosong hingga dapat cukup satu pragraf, bikin satu kalimat aja repotnya minta ampun. Makanya saya secara pribadi, kalau mengajari orang yang pertama kali mau menulis, saya membolehkan melihat gaya setiap orang dalam menulis. Silahkan melihat gaya tulisan orang lain, contoh atau tiru gaya mereka menulis, tapi jangan jiplak. Dan untuk selanjutnya kalau anda memang mau benar-benar jadi penulis, lempar semua buku yang ada dihadapan anda, jauhkan dari meja belajar anda, tutup jaringan internet di laptop anda, dan mulailah menulis. Pasti sulit! Di situlah anda akan merasakan bahwa menulis itu kadang butuh yang namanya “inspirasi.” Ingat! inspirasi itu akan hadir ketika anda peka terhadap situasi yang anda amati, kepekaan akan situasi juga sangat ditentukan  oleh kemampuan anda menganalisis, dan kemampuan anda menganalisis juga lebih banyak ditentukan dari refrensi bacaan anda. Omong kosong mau jadi penulis tetapi malas membaca.

Posisi saya dalam menyikapi kasus plagiat Nanda, tidak mau lagi mengutuknya, sudah cukup celaan yang diberikan oleh berbagai teman-teman di kompasiana, harapan saya: Janganlah Plagiat Lagi! Nanda seharusnya mengubah tujuannya dalam menulis. Kalau dulunya ingin menjadi populer, terpandang di hadapan teman-teman, sekarang harus memulai menulis, memang karena ingin menjadi penulis.

Seorang yang ingin menjadi penulis dia tak pernah buruh ketenaran, tetapi itu soal keresahan, kegelisahan yang mengguncang batin dan pikirannya. Resah dan gelisah itu terus mengaum di pikirannya, sehingga hanya dengan menuliskannya ia lalu menjadi bahagia. Maka tak heran, kalau kadang kita membaca sebuah artikel cukup menarik, kata perkata, kalimat perkalimat ibarat air yang tumpah, sang pembaca merasuk ke dalam batinnya seorang penulis. Anda bisa mengujinya dengan membaca beberapa artikel Yusran Darmawan.

Bukan sombong, bukan pongah, bertahun-tahun saya menekuni dunia menulis, awalnya saya belajar menulis fiksi (cerpen), kemudian saya memutar haluan belajar menulis “opini.” Sampai saat ini, saya tetap mengakuinya kalau menulis itu memang sulit, terkadang saya mengecap diri sendiri, saya ini mustahil bisa menjadi penulis. Di saat belajar menulis “opini” justeru saya tertarik dengan isu-isu politik, jadilah beberapa artikel saya yang bertemakan politik. Namun menulis opini dengan bertemakan politik, kemudian saya sadar diri, itu bukan bidang dan lahan keilmuan saya.  Malu pastinya kalau ada yang mencap saya, pengamat segala ilmu. Karena saya sarjana hukum, saya harus menuliskan opini yang bertemakan isu dan beberapa kasus-kasus hukum, di sinilah saya menemukan diri saya yang sebenarnya.

Jika Nanda consent di jurusan “Sastra Indonesia” mengapa tak memlilih jalan, menulis untuk bidang sastra saja: cerpen, puisi, essai, resensi novel, asal jangan lagi plagiat yah! Bacalah sebanyak-banyaknya buku sastra, di situlah anda belajar membangun kerangka pikir menulis, kalau ada yang tidak sesuai dengan keilmuan yang ditekuni saat ini, bantahlah keadaan itu. Tidak perlu lagi mengurusi isu politik, seperti salah satu tulisan plagiatnya yang pernah mendapatkan juara satu “Menguliti Bakal Capres 2014.”

Bagi saya, kunci utama dalam menulis, anda memliki kemampuan menganalisis, tidak perlu risauh akan tenar atau tidak. biarkan saja ketenaran itu akan datang dengan sendirinya. Tak ada penulis yang sukses dengan cara-cara instan, semua butuh proses, ibarat menaiki tangga anda tidak boleh melangkahi satupun dari tiap tangga kesuksesan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline