TERJAWAB sudah kekalutan atas Pasal 159 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) saat ini. Melalui putusan MK yang digelar sore kemarin (Kamis 3 Juli 2014). MK mengabulkan permohonan untuk seluruhnya, atas permohonan yang diajukan oleh Forum Pengacara Konstitusi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta perseorangan atas nama nama Sunggul Hamonangan Sirait, dan Haposan Situmorang.
Kita patut mengapresiasi Putusan Mk tersebut. Oleh karena MK sebagai Court of constitution dalam perannya sebagai guardian of constitution. Akhirnya menyudahi segala kekaburan dan kekhawatiran selama ini. Bahwa pada dasarnya, jika harus melaksanakan maksud imperatif Pasal 6 A ayat 3 UUD NRI 1945, maka mau tidak mau KPU sebagai penyelenggara pemilu pun harus tunduk pada amanat UUD NRI 1945.
[caption id="attachment_313969" align="alignnone" width="600" caption="SUMBER GAMBAR: www.satuharapan.com"][/caption]
Bahkan sebelumnya KPU secara mendadak sudah menerbitkan Peraturan KPU terkait dengan pelaksanaan Pilpres nanti, tetap akan dihelat dalam dua putaran, jika memang tidak mampu memenuhi syarat terbatas dari persebaran suara 20 persen lebih dari setengah jumlah provinsi di negeri ini. Walaupun jumlah kandidat Capres-Cawapres yang tersaji saat ini hanya dua pasangan. Itu artinya setelah putusan MK ini, KPU harus patuh dan kembali mengubah peraturan sebelumnya, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh putusan MK itu.
Terlepas dari itu semua, tidak bisa dipungkiri kalau putusan MK tersebut, tetap meninggal sejumlah "cacat" untuk selanjutnya perlu penelaahan dan kajian dalam wilayah akademis. Hemat saya, secara pribadi juga sepakat dengan putusan ini. Namun dengan melihat beberapa alasan MK mengabulkan permohonan para pemohon melalui pertimbangan hukum mereka. Lagi dan lagi, ternyata makin menunjukan MK, yang kini dihuni oleh 9 orang hakim, seolah-oleh mereka ,kian hari miskin argumentatif saja.Entah karena MK diburuh waktu, karena penyelenggaraan hari "H" Pilpres semakin dekat. Ataukah sumber daya hakim MK yang memang miskin gagasan, sehingga putusannya semakin menunjukan miskin gagasan.
Mari kita mencermati, pada alasan MK hingga mengabulkan permohonan itu: Pertama "Hakim Konstitusi berpendapat bahwa Pasal159 ayat 1 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang Pilpres hanya diikuti dua pasang calon."
Kedua, "MK berpendapat, dua pasang calon ini sudah didukung oleh seluruh partai politik sehingga sudah dianggap sebagai perwakilan dari semua rakyat Indonesia. Dalam hal ini telah memenuhi prinsip representatif, karena sudah direpresentasikan oleh gabungan Parpol."
Padaalasan pertama, MK dengan serta merta berdalih bahwa Pasal 159 ayat 1 bertentangan dengan UUD. Pertanyaannya, adalah di pasal mana kira-kira dalam UUD bertentangan Pasal 159 ayat 1 itu? Saya kutipkan bunyi asli dari pada Pasal 159 ayat 1 "Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 (lima puluh) persen dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20 (dua puluh) persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia." Lalu kalau mau dibuka dalam UUD 1945, maka bunyi Pasal 159 bahkan memiliki redaksi dan maksud yang sama dengan Pasal 6 A ayat 3 UUD 1945 "Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 % dari jumlah suara dengan pemilihan umum dengan sedikitnya 20 % suara disetiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden."
Bahwa pada intinya, bagaimanapun di dalam UUD 1945, tetap diakui yang namanya Presiden baru bisa dilantik jika telah terpenuhinya syarat persebaran 20 persen lebih dari setengah jumlah provinsi. Di sana sama sekali tidak ada pertentangan antara UU Pilpres dengan UUD. Maka lebih elok, seandainya saja MK dalam ruang ini, bukan mencocokan antara bertentangan tidaknya Pasal 159 ayat 1 dengan pasal 6 A ayat 3 UUD. Tapi tidak ada pilihan bagi MK, harus menafsirkan maksud dari lahirnya Pasal 6 A ayat 3 UUD. Cara menafsirkan Pasal 6 A ayat 3 UUD, bisa dilakukan melalui model penafsiran historis, maupun model penafsiran analogis dengan menggunakan model penafsiran "argumentum a contrario." Sebagaimana yang pernah saya bahas sebelumnya dalam salah satu artikel saya (lihat melalui link: negarahukum.com).
Sedangkan pada alasan Kedua, ketika MK berpendapat, dua pasang calon ini sudah didukung oleh seluruh partai politik sehingga sudah memenuhi representasi semua rakyat Indonesia. Lagi-lagi pertimbangan ini, "sangat lemah" hakim MK membentuk sebuah keyakinan, bahwa putusannya bisa dikatakan berdasar. Jika hanya karena Partai Politik dijadikan alasan telah memenuhi representasi dari semua jumlah rakyat indonesia. Anggapan bahwa term "representasi" kemudian disamakan makna filosofis dari adanya persyaratan sebaran suara di setangah jumlah provinsi (sehingga Presiden terpilih adalah mewakili semua rakyat), adalah bukan di situ maksud Pasal 6 A ayat 3 UUD. Meskipun partai menjadi pengusung tunggal Calon Presiden, tetapi rakyat bukan di sini memilih partai politik (tidak dapat disamakan dengan DPR dan DPRD yang memang namanya akan dipilih dalam lembar suara telah tercatut dalam partai politik pula). Karena itu, memang MK saat menelisik dari putusannya, seolah membenarkan kalau rata-rata hakimnya kini semakin miskin gagasan. Hakim MK sekarang, amat jauh kecerdasan konstitusional hakim dari masa-masa sebelumnya, ketika Jimli Asshiddiqie dan Laica Marzuki masih berkecimpung di sana.
Satu dan lain hal, dari beberapa putusan MK kemarin yang banyak meninggalkan kontroversi (seperti pembatan Perppu tentang MK, dan putusan pemilu serentak). Hingga banyak menyita perhatian dari para ahli hukum tata negara. Boleh jadi sumber daya hakim MK sekarang, memang sedang dilanda krisis ahli hukum konstitusi, juga ahli hukum tata negara.