Lihat ke Halaman Asli

Perppu Mencabut Undang-undang?

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintahan era SBY-Boediono memang telah berakhir. Dan kini telah digantingkan masa pemerintahan Jokowi-JK. Tapi patut menjadi catatan, bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppu Pilkada) yang telah diterbitkan oleh SBY kemarin diakhir pemerintahannya. Implikasi hukumnya jelas menjadi warisan pemerintahan selanjutnya, yakni pemerintahan Jokowi-JK.

Implikasi hukum selanjutnya yang dimaksud adalah akan digelar sejumlah Pemilihan Kepala Daerah, baik di beberapa Provinsi, Kabupaten, maupun Kota, yang sudah nyata-nyata berada dibawah kendali pemerintahan Jokowi-JK.

Namun yang penting untuk dipertanyakan atas Perppu Pilkada itu, meskipun secara konstitusional penerbitan Perppu oleh Presiden merupakan hak subjektifnya; Apakah Perppu Pilkada sejak diterbitkan sudah mengikuti limitasi hukum ketatanegaraan yang telah ditentukan?

Sekiranya pertanyaan tersebut perlu dicari jawabannya, sebab ruang yang terlalu terbuka bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu, kemungkinan besar Presiden akan "sewenang-wenang" atau dengan kata lain seenaknya saja menerbitkan Perppu.

Bahkan dengan gampangnya Presiden "mengobral" Perppu justru akan melahirkan "abuse of power". Abuse of power bisa saja terjadi karena proses lahirnya Perppu, bukan dalam wailayah kegentingan memaksa, tetapi hanya karena tendensi politik, dengan gampangnya saja Perppu kemudian lahir.

Setidaknya melalui Putusan MK Nomor:  138/ PU-VII/ 2009, limitasi syarat kegentingan memaksa sudah dapat menjadi landasan formil bagi Presiden menerbitkan Perppu. Yaitu (i) Adanya keadaan yaitu kebutuhan hukum yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang (UU) yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedural biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Perppu Tidak Dapat  Mencabut UU

Bagaimana dengan Perppu Pilkada? Apakah telah memenuhi limitasi kegentingan memaksa yang telah digariskan oleh putusan MK tersebut?

Salah satu hal fundamental lahirnya Perppu Pilkada, yakni ada tindakan awal sebelumnya yang dilakukan oleh Presiden (dalam hal ini SBY pada waktu itu), dengan terlebih dahulu mencabut keberlakukan UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), kemudian pada "detik" itu juga diterbitkan Perppu Pilkada.

Adapun maksud dicabutnya UU Pilkada, agar limitasi kegentingan memaksa, yang mana salah satu unsurnya harus terjadi kekosongan hukum. Bahwa ketika UU Pilkada sudah dicabut berarti sistem Pemilihan Kepala Daerah berada dalam tafsir "telah terjadi kekosongan hukum."

Dari tindakan penerbitan Pilkada itu ternyata mneyimpan sejumlah kejanggalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline